Minggu, 15 November 2009

Etika [bisnis] Dalam Praktek

Etika [bisnis] Dalam Praktek
Asril Sitompul, S.H., LL.M

PUSAT INFORMASI HUKUM INDONESIA (PIHI)



1. Pendahuluan

Berbagai kekuatan dan dorongan mempengaruhi perilaku manusia, diantaranya kekuatan dan dorongan yang datang dari luar dirinya (negara, masyarakat, kelompok, pribadi), dan kekuatan dan dorongan yang timbul dari alam (cuaca, keadaan alam, polusi udara), serta kekuatan dan dorongan yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri (sifat azasi, mental, spiritual).

Kekuatan yang mempengaruhi perilaku manusia dari luar dirinya diantaranya adalah sistem hukum, yang dengan disertai ancaman berupa sanksi yang akan dijatuhkan oleh pihak penguasa, berupa paksaan bagi manusia untuk mengikuti standar-standar perilaku tertentu dalam rangka membentuk suatu tatanan dan ketertiban dalam hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Beberapa ahli menyatakan bahwa di dalam masyarakat yang demokratis, kekuasaan memaksa yang mempunyai otoritas atas pihak lain (misalnya ketentuan-ketentuan hukum) adalah berasal dari dan didasarkan pada kemauan yang datang dari pihak yang dikuasai. Pandangan-pandangan tersebut berasal dari teori-teori kontrak sosial.[1]

Selanjutnya, di antara hal-hal yang secara internal mempengaruhi perilaku manusia pribadi adalah opini manusia terhadap dirinya sendiri, baik yang timbul dari diri sendiri maupun opini yang diterima dari orang lain. Di dalam kategori orang lain termasuk orang tua, anak-anak, keluarga, teman dan semua orang lain yang tidak terdefinisikan, oleh karena itu kadang-kadang banyak orang yang memandangnya sebagai sesuatu yang mencemaskan.

Sebagian besar opini tersebut terbentuk dari suatu sistem yang membimbing manusia dalam menilai suatu hubungan atau tindakan, sistem inilah yang disebut dengan “etika.”

2. Pendekatan Umum

Pendekatan umum dalam pembahasan masalah etika bisnis dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan: “apakah suatu perusahaan yang menjalankan bisnis, sebagai badan hukum, merupakan badan hukum privat atau badan hukum publik?”

Pembedaan ini perlu, karena bila kita memandang perusahaan sebagai badan hukum privat, maka perusahaan dapat diperlakukan sebagai subjek hukum privat, dengan demikian, perusahaan dapat bertindak untuk dirinya sendiri, meskipun kewajiban tersebut dapat diperpanjang jangkauannya atas kewajibannya untuk kepentingan orang lain. Tambahan pula, sebagai badan hukum privat suatu perusahaan berhak untuk mendapat perlindungan hukum sebagai orang pribadi lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan dapat pula ia memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.

Di samping itu, bila kita memandang perusahaan sebagai badan hukum publik, maka keadaan ini menjadi sebaliknya, perusahaan mempunyai kewajiban bukan hanya kepada pemegang sahamnya, tapi juga kepada masyarakat pada umumnya, mereka mempunyai kewajiban umum kepada publik meskipun mereka akhirnya laba yang akan diterima akan berkurang. Menurut pandangan ini, segala keputusan yang diambil perusahaan menjadi objek bagi penilaian oleh masyarakat, dan harus dibatalkan bila ternyata tidak memenuhi standar-standar yang ditentukan secara umum.[2]

3. Etika

Etika merupakan suatu kehendak yang sistematik melalui penggunaan alasan untuk mempelajari bentuk-bentuk moral dan pilihan-pilihan moral yang dilakukan oleh seseorang dalam menjalankan hubungan dengan orang lain. Dalam diskusi tentang etika bisnis, titik pandang harus difokuskan kepada suatu kelompok dan situasi tertentu, misalnya pada lingkungan bisnis teknik-teknik evaluasi diarahkan kepada perbuatan yang ada di dalam lingkungan yang mempunyai tujuan-tujuan bisnis.

Keputusan dari seorang dokter untuk tidak memberikan informasi yang kesehatan pasiennya kepada pihak lain; dilema yang dialami seorang pengacara dalam menangani benturan kepentingan dengan kliennya; ataupun tanggung jawab seorang pelaku bisnis dalam pemasaran produk yang mengandung bahaya menimbulkan pertanyaan yang sama yaitu apakah yang dimaksud dengan benar, salah, baik, atau buruk? Apakah yang merupakan pilihan etika? Dan dalam perbuatan yang bagaimana seseorang seharusnya sampai kepada suatu keputusan untuk melakukan tindakan?

Etika adalah cabang dari filsafat yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya, dengan makhluk lain, dan dengan lingkungan alam. Dengan didasari oleh filsafat, studi mengenai etika mencari pengertian tentang kebenaran dan prinsip-prinsip dasar yang memberi bimbingan untuk mendapat pengertian tentang dunia ini.

4. Teori Etika

Banyak teori dan pelajaran tentang etika (contohnya adalah filsafat terapan) yang mengevaluasi masalah-masalah moral. Di antaranya adalah teori-teori Aristotelianisme, consequentialisme, instrumentalisme, hedonisme, egoisme, altruisme, utilitarianisme, deontologisme, dan etika Kantian.

Teleological ini dianut oleh pengikut utilitarianisme, di antara para pemukanya terdapat Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1973). Termasuk pula di dalam analisis teleological ini adalah pandangan dari filsuf kontemporer John Rawls yang dinamakan “veil of ignorance”, didasarkan kepada prinsip distributive justice.

Ahli fisafat terapan yang mengadopsi pendekatan Kantian menganut pandangan Deontological, yaitu pandangan yang berbasis proses pengambilan keputusan dalam menentukan suatu perbuatan. Pemukanya di antaranya adalah filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804)[3]

Secara praktis, pandangan-pandangan ini berhubungan dengan kegiatan dalam menguji suatu perbuatan dengan hati-hati. Banyak ahli yang percaya bahwa kedua pendekatan ini dapat digunakan sebagai analisis pemecahan problem moral.

Banyak orang yang mungkin secara tidak sadar mempraktekkan pendekatan teleological terhadap etika dalam memutuskan dilema moral. Utilitarianisme adalah bentuk etika teleological yang lebih familiar dikenal oleh pelaku-pelaku bisnis yang memusatkan pandangannya terhadap masalah “the bottom line”. Keputusan-keputusan bisnis diambil dengan pandangan yang dipusatkan kepada akibat yang mungkin timbul atau konsekuensi apabila terjadi pertentangan di antara keputusan-keputusan itu, pertanyaan yang selalu diajukan adalah tentang “apa yang terbaik bagi perusahaan?”

Jika pelaku bisnis, yang merupakan suatu badan hukum yaitu perusahaan, mempertimbangkan hanya bagaimana agar suatu tindakan akan memberikan keuntungan yang besar, maka hal ini adalah merupakan pandangan utilitarianisme. Utilitarianisme dalam hal ini dikenal sebagai salah satu dari pandangan dengan analisis laba-rugi (cost-benefit).

Menurut pandangan utilitarianisme, kerangka yang harus digunakan dalam rangka mempertimbangkan suatu tindakan yang akan diambil, harus didasarkan pada perhitungan atas akibat atau konsekuensi dari tindakan itu. Tujuannya adalah untuk memilih alternatif yang menghasilkan “yang paling baik bagi kelompok terbesar.” Akan tetapi, pandangan ini dihadapkan kepada dua pertanyaan yang sangat penting, yaitu untuk mencapai tujuan, seseorang harus mampu untuk mengidentifikasi apa yang paling “baik” dan siapa yang merupakan kelompok “terbesar” dalam setiap transaksi termasuk pula akibat setiap pemutusan kontrak bisnis terhadap karyawannya yang kemungkinan akan kehilangan pekerjaan atau setidaknya kekurangan penghasilan karena berkurangnya produksi dan seterusnya mempertimbangkan akibat tersebut terhadap keluarga karyawan.

Pemikiran etika yang berbasis kewajiban adalah deontology, yaitu suatu pandangan dimana keputusan tentang suatu tindakan harus diambil dengan dasar adanya kewajiban, bukan dengan dasar akibat atau konsekuensi dari keputusan itu. Pendekatan ini sering pula dinamakan pendekatan “kewajiban demi kepentingan kewajiban“. Para penganut pandangan ini harus menerapkan keahlian dan pemikiran untuk menemukan bentuk bahasan tentang kewajiban tersebut dan mengidentifikasi manfaatnya.

Kant mengemukakan anggapan bahwa tidak ada satupun di dunia ini - tentunya juga tidak ada di luar dunia - yang dapat dibentuk sesuatu yang dinamakan baik tanpa kualifikasi yang lain daripada ‘itikad baik’. Dalam pandangannya itikad baik adalah niat yang rasional, dan niat yang rasional adalah sesuatu yang bekerja secara konsisten dan tidak mengalami kontradiksi. Prinsip konsistensi ini menghasilkan suatu ujian yang dapat mengenali kewajiban seseorang yaitu kategori imperatif atau hukum yang universal. Menurut kategori imperatif ini, kewajiban seseorang dalam suatu keadaan tertentu akan menjadi jelas bila seorang bertanya: apakah keputusan seseorang dapat di jadikan universal tanpa ada kontradiksi apabila di adopsi oleh orang lain dalam situasi yang sama tanpa membuat suatu pengecualian.

Bagi penganut pendekatan Kantian perilaku membuat janji palsu adalah pelanggaran terhadap hukum umum yang telah diakui secara universal. Secara rasional seseorang tidak boleh menginginkan untuk dapat secara bebas membuat janji palsu. Keadaan ini tidak dapat dijadikan kaedah yang universal, dan seseorang tidak dapat membuat suatu pengecualian khusus bagi dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, mengambil milik orang lain meskipun dalam situasi seperti itu adalah berarti mengancam pemilik barang tersebut dan tidak menghargai kehormatan pemiliknya.

Kaum Utilitarian mengemukakan alasan bahwa hal yang baik yang dapat diikuti mungkin adalah apa yang dapat merupakan kesempatan agar bisnis berjalan lancar dan para pekerja yang membutuhkan dapat dipekerjakan. Hal yang buruk adalah bila perusahaan tidak mendapat pembayaran, para pekerjanya akan menderita, dan, bila pengamatnya adalah seorang Utilitarian, akibat buruk akan datang dari pihak lain yang menganggap bahwa seseorang dapat membuat janji palsu dengan tidak melakukan pembayaran.

Seorang filsuf modern, W.D Ross, memberikan suatu versi deontology yang mendefinisikan kewajiban sebagai suatu tindakan mengambil tanggungjawab atas kedua kewajiban yang murni dan kewajiban-kewajiban untuk menghasilkan akibat yang terbaik. Ross mengenali bahwa suatu hubungan tertentu adalah lebih penting daripada yang lainnya dan bahwa suatu akibat tertentu akan lebih utama dari yang lainnya. Dalam hal terjadi pertentangan kewajiban, Ross menganjurkan untuk menilai konsekuensi dan membuat prioritas dari kewajiban-kewajiban untuk mengantisipasinya.

5. Penerapan Hak

Pendekatan ini dirumuskan oleh John Rawls, seorang pendukung teori Landasan Hak, yang penelitiannya diarahkan kepada eksplorasi konsep keadilan. Namun demikian, hasil karyanya sendiri bersandar kepada penggunaan analisis etika dan sudah diterapkan secara luas sebagai alat dalam pendidikan etika bisnis.

Rawls mengarahkan kepada suatu test hipotesa mental yang dapat digunakan untuk menentukan apa yang dinamakan “adil.” Ketika diminta untuk memberikan keputusan yang mempunyai dimensi etika, langkah pertama yang harus diambil adalah menuju ke balik “veil of ignorance” (tirai pengabaian). Dengan melakukan hal itu, maka orang akan mengetahui bukan saja statusnya, tetapi juga akan tahu bagaimana akibat dari suatu keputusan akan membawa dampak kepada dirinya secara pribadi. Kemudian akan dapat dilakukan pendekatan pada masalah ini dengan mengajukan suatu pertanyaan yang sederhana: apa yang akan timbul sebagai keadilan yang rasional, dalam kasus tertentu itu dan pada prinsip-prinsip umum? Jawabannya, sebagaimana diajukan oleh teori ini, tidak akan berpihak, karena keadaan lingkungan pribadi telah dikesampingkan.

Ada beberapa cara yang berbeda untuk mempelajari perilaku dalam hal pengambilan keputusan moral. Bila kita melihat ke dalam situasi bisnis, maka aspek-aspek dari ketiga pendekatan (utilitarian-teleologocal, deontological, dan pendekatan Rawls) akan muncul. Proses untuk mengajukan pertanyaan yang dianjurkan oleh masing-masing metode cenderung untuk menstimulasi pertimbangan yang mungkin semula tidak diambil seseorang.

6. Hukum dan Etika

Hukum tidak selalu lebih lambat daripada etika. Dengan tidak menyampingkan hambatan-hambatan yang sering menjadi preseden, hukum juga dapat berubah untuk mengakomodir pergeseran nilai-nilai tertentu yang mengikuti prinsip moral yang lebih jelas. Akhir-akhir ini, di beberapa bidang hukum, pihak legislatif dan pengadilan telah menunjukkan kemauan untuk bertindak sebagai sponsor dan penegak hukum yang mengharuskan standar perilaku yang lebih tinggi. (contohnya kewajiban CSR bagi setiap perusahaan di Undang-Undang PT yang baru).

Kebanyakan aturan hukum berada di bawah tingkatan tuntutan etika, akan tetapi, dalam kenyataan hukum ikut mendorong meningkatnya tuntutan etika. Ini adalah dapat dimengerti apabila kita mempelajari perilaku menurut “tingkat perkembangan moral” yang diajukan oleh Lawrence Kohlberg, seorang psikolog terkemuka di Amerika.

Observasi yang dilakukan Kohlberg menawarkan pandangan bagaimana para manajer bisnis berperilaku. Pandangan tersebut kira-kira sebagai berikut: bila suatu tindakan yang dilakukan merupakan hal yang “legal” maka tindakan itu pasti “baik“.

Masalah ini menimbulkan pertanyaan yang menarik tentang etika yang diterapkan pengacara dan kliennya bila mereka menangani atau terlibat dalam litigasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa banyak cara untuk memenangkan gugatan hukum atau mengambil keuntungan dalam negosiasi yang mengandung dampak di bidang etika. Sudah tentu motif etika ini ada karena hukum menyediakan berbagai teknik yang menentukan keberhasilan dalam suatu gugatan hukum.

7. Hubungan Etika dengan Perilaku Bisnis

Apa yang dapat ditarik dari fenomena berikut ini? Dalam kenyataan sering terjadi bahwa pengusaha yang selalu menjalankan bisnisnya dengan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika: melakukan penipuan, persaingan yang tidak sehat, bisnis yang curang, dan melakukan “pencurian”, namun tidak pernah tertangkap dan menjadi kaya serta berumur panjang dan akhirnya meninggal dunia dengan wajar pada usia lanjut.

Sebaliknya, terdapat pengusaha yang menjalankan bisnis dengan penuh etika, namun kemudian mempunyai anak yang menderita leukemia, dan di antaranya ada yang kehilangan pekerjaan akibat merger perusahaannya, bahkan ada pula yang menjadi cacat akibat ditabrak oleh pengendara mobil yang sedang mabuk dan mati dalam usia yang relatif muda.

Dalam kegiatan bisnis sehari-hari sangat mudah untuk menyebut etika bisnis, namun sulit sekali untuk menerapkannya. Dalam lingkungan bisnis yang semakin kompetitif, sering etika bisnis ditinggalkan semata-mata untuk mengejar keuntungan yang besar dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, atau untuk mendapatkan promosi jabatan dan terkadang untuk tetap dapat menduduki suatu jabatan.

Untuk mempertimbangkan etika dalam mengambil keputusan, merupakan proses kegiatan pemikiran etika yang sangat mirip dengan suatu studi produktif. Kerangka yang ditawarkan oleh teori-teori etika menantang para manajer untuk mencari alternatif-alternatif dan untuk menyusun alasan-alasan untuk mendukung alternatif tersebut. Hal tersebut merupakan langkah yang penting dan krusial dalam lingkungan bisnis yang semakin kompleks akhir-akhir ini, dimana pengambilan keputusan yang baik akan berdampak finansial secara langsung dari suatu tindakan yang dilakukan, namun juga terhadap kepentingan bisnis jangka panjang yang tidak terlihat dengan jelas ataupun dampaknya terhadap masyarakat.

8. Etika Dalam Investasi

Perlukah etika dalam melakukan investasi? Jawabannya tentu saja perlu. Penekanan pada pencarian laba tidak harus menjadikan investor melupakan etika. Cukup sulit untuk menentukan sasaran etika ini. Pokok pikiran yang paling penting dalam hal ini adalah jangan lakukan investasi yang merupakan pengejaran laba dengan hanya berdasarkan spekulasi.

Dalam melakukan investasi kebanyakan investor mencari dan memfokuskan perhatiannya terhadap investasi yang aman dan menjanjikan keuntungan yang tinggi, hanya sedikit yang memperhatikan investasi yang beretika.

Apabila investor akan melakukan investasi yang berdasar etika, hendaklah perhatian utamanya ditujukan kepada produk dan jasa perusahaan tersebut, sebagai contoh: jangan melakukan investasi di perusahaan yang memproduksi bahan-bahan yang mengakibatkan penyakit atau merusak lingkungan. Selanjutnya sedapat mungkin dipelajari kemana dana yang diperoleh perusahaan tersebut disalurkan, misalnya investasi di reksadana dapat menjadi investasi yang tidak beretika apabila dana yang dihimpun diinvestasikan di perusahaan-perusahaan yang produksinya mengakibatkan penyakit atau merusak lingkungan. Bagi investor yang tidak aktif menjalankan bisnis itu sendiri ada 3 (tiga) metode pendekatan yang dapat digunakan yaitu:

a. Pendekatan Negatif

Pendekatan negatif ini disebut juga teori penghindaran, di mana para investor yang beretika, akan menghindari investasi di bidang atau perusahaan yang tidak disukainya, atau bertentangan dengan prinsip etika bisnis yang dianutnya atau juga melakukan kegiatan bisnis di bidang-bidang yang melanggar ketentuan lingkungan, produksi zat kimia yang berbahaya, produksi senjata, atau melakukan investasi di negara-negara yang melakukan pelanggaran hak-hak azasi manusia.

b. Pendekatan Positif

Dalam hal ini para investor hanya akan melakukan investasi pada bidang usaha atau bisnis yang sesuai dengan etika bisnis yang dianutnya. Dalam penerapannya investor dapat menyusun daftar perusahaan atau bidang bisnis yang dipandang sesuai dengan etika bisnis yang umum.

c. Pendekatan Aktif

Dengan pendekatan ini para investor akan melakukan investasi di bidang bisnis yang menurutnya tidak sesuai dengan etika bisnis yang umum dianut, dan dalam melakukan investasi di bidang itu terkandung tujuan untuk mengambilalih kontrol terhadap perusahaan tersebut untuk selanjutnya melakukan perubahan agar perusahaan tersebut menjalankan bisnis sesuai dengan etika bisnis yang umum.

9. Etika [Bisnis] Dalam Praktek

Berbicara mengenai etika dalam kaitan dengan bisnis dan investasi, tidak cukup hanya dengan membahas teori-teori yang secara umum dianut pelaku bisnis atau para investor, akan tetapi juga perlu membahas penerapan dan pelaksanaannya dalam praktek bisnis, investasi, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini akan dibahas beberapa ilustrasi mengenai praktek etika dalam berbagai segi kehidupan, yang bila diperhatikan secara mendalam akan menampakkan gejala upaya penghindaran yang disadari atau tidak dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat.

a. Benci Tapi Beli: Kasus Timor (Mobnas)

Benci tapi beli, proyek mobil Timor yang dikenal dengan proyek Mobnas (mobil nasional) oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dianggap sebagai proyek penyelundupan hukum yang dilakukan secara terang-terangan, dan tentunya melakukan pelanggaran di berbagai bidang hukum, mulai dari perpajakan sampai kaedah hukum internasional yang terdapat di komitmen Indonesia di WTO (World Trade Organization). Namun, tidak dapat disangkal bahwa dibalik itu mobil Timor termasuk mobil yang laku di pasar.

b. Anti Bank - Pro Deposito

Ketika krisis mulai melanda Indonesia, banyak orang yang berteriak anti konglomerat tapi dibalik itu sebagian dari mereka berlomba mendepositokan uangnya di bank-bank milik konglomerat. Ketika terungkap kasus-kasus yang membuka ketidaksehatan bank-bank di Indonesia, hampir semua orang memandang dengan sinis terhadap bank-bank milik konglomerat dan menganggap bahwa bank-bank tersebut merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi Indonesia. Namun dibalik itu, berbondong-bondong orang memasukkan uangnya di dalam deposito karena tingginya bunga bank pada waktu itu.

c. Benci Krisis Beli Dolar

Semua orang mengeluh terhadap krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia tapi bila kita perhatikan banyak sekali orang yang berlomba-lomba beli dolar. Money-changer dipenuhi oleh orang-orang, mulai dari pedagang sampai dengan ibu rumah tangga. Semua orang jadi ahli valuta asing dan ahli moneter, dan mengikuti perkembangan harga valuta asing dengan seksama untuk mencari keuntungan dari perdagangan valuta asing.

d. Benci Perusahaan Beli Saham

Contoh lainnya adalah banyaknya orang yang menganjurkan untuk tidak merokok, banyak yang benci rokok, namun kita lihat kenyataan bahwa saham perusahaan rokok mempunyai kapitalisasi paling besar di Bursa Efek, dan orang-orang berlomba membeli saham perusahaan rokok. Apakah ini melanggar ketentuan hukum? Tentu saja tidak, namun seperti dikatakan di atas, etika tidak dapat hanya dilihat dari sudut pandang hukum positif yang berlaku. Ini berkaitan dengan etika investasi seperti yang telah disebutkan di atas.

e. Eksploitasi Anak Dalam Bisnis - iklan, hiburan, film

Sementara hampir semua orang berteriak tentang perlindungan anak-anak, di televisi iklan yang menggunakan anak-anak semakin gencar. Eksploitasi anak masih merupakan hal yang sangat jarang diperhatikan di Indonesia, apalagi bagi para pelaku bisnis. Semakin maraknya iklan di televisi yang menggunakan anak, bahkan bayi, sebagai penarik konsumen, menandakan rancunya jalan pemikiran masyarakat dalam kaitannya dengan etika. Sebagian besar masyarakat belum dapat membedakan eksploitasi dengan pengejaran keuntungan yang tidak melanggar etika bisnis.

Asril Sitompul, S.H., LL.M

PUSAT INFORMASI HUKUM INDONESIA (PIHI)

ETIKA BISNIS: Menyelamatkan para karyawan dan pimpinan dari perangkap masalah

ETIKA BISNIS: Menyelamatkan para karyawan dan pimpinan dari perangkap masalah
by djajendra @ 2009-10-22 – 13:32:35

Aktifitas bisnis dilaksanakan dan ditujukan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, dan agar aktifitas bisnis mampu berjalan secara baik diperlukan etika bisnis. Di mana, etika bisnis mampu memagari perilaku pekerjaan sehari-hari di kantor untuk membuat para pemimpin dan karyawan agar tidak terperangkap dalam masalah.
Bila etika bisnis mampu dijalankan secara tegas dan konsisten, maka nilai-nilai yang ada di dalam etika bisnis tersebut dapat menciptakan sebuah aktifitas bisnis yang sehat dan berkualitas tinggi. Sebuah praktik bisnis yang bebas dari konspirasi buruk, yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, sehingga mampu mengoptimalkan shareholders value perusahaan.
Secara prinsip etika bisnis itu mengatur agar para pemimpin dan karyawan di perusahaan tidak menjadi korban dari kegiatan bisnis tersebut. Oleh karena itu, pemahaman etika bisnis harus diikuti dengan kekuatan sifat baik yang didukung oleh nilai-nilai moral kehidupan yang tinggi.
Etika bisnis wajib diimplementasikan secara baik oleh setiap orang di perusahaan, agar mampu memainkan peran dan fungsi manajemennya secara profesional, tanpa keluar dari aturan main yang ada di perusahaan, serta mampu memahami apa yang baik dan apa yang tidak baik secara bijaksana.
Etika bisnis itu seperti cahaya yang menerangi semua fungsi dan peran kerja karyawan dan pimpinan. Semakin terang pikiran si karyawan dan pimpinan untuk memahami dan mematuhi etika bisnis, akan semakin tinggi kualitas integritas dan kinerja mereka.
Bila para karyawan dan pimpinan mampu mematuhi etika bisnis secara sempurna, maka secara otomatis mereka akan menjadi energi positif perusahaan; mereka akan menjadi pribadi yang membangun kebaikan di organisasi; mereka akan menjadi pribadi istimewa yang berpotensi meraih sukses tertinggi; mereka akan menjadi pribadi yang dicari-cari oleh perusahaan lain untuk direkrut.
Etika bisnis tidak sekedar aturan yang mengikat para karyawan dan pimpinan di perusahaan, tapi etika bisnis menjadi sebuah energi yang mampu menciptakan nilai tambah buat organisasi.
Etika bisnis adalah perilaku moral dan sikap baik yang menjadi inti dari kekuatan sebuah manajemen, dan inti dari sebuah kekuatan bisnis.

Sabtu, 14 November 2009

etika bisnis dan fungsinya

http://www.pengusahamuslim.com/strategi-bisnis/17-strategi-bisnis/298-etika-bisnis-dan-fungsinya.html

Tanggung-jawab sosial dimana bisnis diharapkan memberikan arti bagi komunitas pada umumnya, khususnya ditempat bisnis berada atau memiliki kepentingan. Misalnya tumpahan minyak Exxon Mobil. Sudah menjadi tanggung-jawab bisnis untuk melindungi kepentingan orang banyak, hewan dan lingkungan dimana sumber digunakan. Karena penanganan isu yang tidak tepat, maka hubungan masyarakat menjadi mimpi buruk perusahaan. Saat ini Exxon telah diperintahkan untuk membersihkan area yang semestinya dijaga dari kerusakan. Ketidakpedulian etika bisnis dalam kasus ini, akan mengakibatkan citra negatif perusahaan di masyarakat dan tuntutan hukum.

• Isu terkait tanggung-jawab perusahaan dengan pemegang saham. Ini adalah area dengan regulasi yang ketat namun memerlukan campur tangan pemerintah, dikarenakan praktek tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan di masa lalu. Konsep meningkatkan nilai pemegang saham adalah bagian dari prinsip dasar perusahaan dan jika etika bisnis tidak digunakan, bisnis akan runtuh karena tekanan dari pemegang saham.

• Negosiasi dan kerjasama antar perusahaan.Seringkali rival dalam bisnis memburuk karena jumlah uang dan ego yang mengendalikan mereka. Pengambilalihan yang kasar dan spionase bisnis adalah beberapa contoh perilaku tidak etis dalam dunia bisnis. Jika ditemukan, perilaku ini dapat dikenakan hukuman oleh hukum atau opini publik . Agar permainan adil dan menjaga minat konsumen, pemerintah mengatur kerjasama yang dilakukan oelh perusahaan. Microsoft menjadi target penyalahgunaan dan kemarahan karena teknik monopoli bisnisnya. Meskipun hal tersebut tidak menenggelamkan raksasa IT, banyak yang mengatakan, akan menghadapi tekanan jangka panjang. Pemerintah juga sudah turun tanggan untuk memastikan bisnis lainnya dan konsumen tidak dirugikan.

• Perlindungan pemegang saham. Setiap usaha memiliki pemegang saham disamping pemiliknya - karyawan dan publik. Bisnis harus memastikan hak dan kepentingan kelompok in dilindungi dengan baik. Keributan dan kondisi kerja karyawan yang buruk di Wal-Mart mengakibatkan pandangan negatif pada departmen store besar tersebut. Ini mengakibatkan kompetisi dan rival memiliki peluang untuk mengambil alih saat perusahaan sedang sibuk mengendalikan kerusakan.

• Dasar praktek bisnis sebuah perusahaan. Kontrak dibawah tangan, penggunaan produk yang tidak standar, menyebarnya informasi produk yang salah, memperkerjakan karyawan ilegal dengan upah dibawah minimum, dsb menunjukkan perusahaan dijalankan dengan tidak etis dan bukan tempat kerja atau penyedia jasa yang bermutu.

Oleh: William King

Article Source:

http://www.bestmanagementarticles.com

Diterjemahkan oleh: Iin (tim pengusahamuslim.com)

Menuju Bisnis Beretika Islam

http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-02/msg00899.html

Jumat, 18 Februari 2005 02:03

Menuju Bisnis Beretika Islam
Oleh : Sri Sugiati

DIAM-diam persoalan etika bisnis rupanya diidam-idamkan juga di Indonesia.
Sudah waktunya bagi para pengusaha untuk memperhatikan etika dalam
berbisnis. Dalam melakukan bisnis jangan hanya mengejar keuntungan tapi juga
harus memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan. Demikian kata Direktur
Eksekutif Indonesia Business Links (IBL) Yanti Koestoer, di Jakarta, Jumat
(3/12/2004).
Dipandang dari segi etika, memang tanggungjawab sosial perusahaan (CSR)
tidak hanya sekadar menyangkut pengembangan komunitas (community
development/CD). Tidak juga sekadar kegiatan sosial (charity). Pengertian
CSR jauh lebih luas dari itu. Di dalamnya juga termasuk memperlakukan
karyawan dengan baik dan tidak diskriminatif serta tidak melanggar HAM.
Demikian pula, perlakuan terhadap pemasok harus baik. Jangan berbuat aniaya
terhadap para pemasok. Juga, sistem pelaporan keuangan tunggal, tidak doubel
atau beberapa laporan untuk mengelabui pemerintah dan petugas pajak. "Tidak
kalah pentingnya adalah bagaimana perusahaan dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat di sekitar lokasi perusahaan berdiri," tutur Yanti.
Ketua Umum IBL, Pradakso Hadiwidjojo, juga mengatakan pentingnya menjalankan
perusahaan dengan etika. "Kalau ingin sukses dan berkelanjutan, maka bisnis
itu harus dijalankan dengan etika, termasuk di dalamnya CSR. CSR bukanlah
sumber biaya atau pemborosan. Sebaliknya, CSR itu ikut memperbagus dan
mempercantik perusahaan," tandasnya sambil mengakui bahwa di Indonesia, CSR
masih terbilang baru.
Agaknya, perbincangan soal etika bisnis itu akan semakin mengemuka mengingat
arus globalisasi semakin deras terasa. Globalisasi memberikan tatanan
ekonomi baru. Para pelaku bisnis dituntut melakukan bisnis secara fair.
Segala bentuk perilaku bisnis yang tidak wajar seperti monopoli, dumping,
nepotisme dan kolusi tidak sesuai dengan etika bisnis yang berlaku.
Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip agama dan
nilai-nilai etika seperti pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli,
kolusi dan nepotisme cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi.
Manajemen yang tidak memperhatikan dan tidak menerapkan nilai-nilai agama
(nilai-nilai moral), hanya berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek,
tidak akan mampu survive dalam jangka panjang.
Etika bisnis ialah pengetahuan tentang tata cara ideal mengenai pengaturan
dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku
secara universal. Etika dalam implementasinya selalu dipengaruhi oleh faktor
agama dan budaya. Faktor budaya dan agama mempengaruhi proses perumusan
etika bisnis dalam dua hal: (1) Agama dan budaya dianggap sebagai sumber
utama hukum, peraturan dan kode etik. (2) Agama dan budaya lebih independen
dalam etika bisnis dibanding jenis etika bisnis lainnya.
Syariah Islam, misalnya, memberikan aturan umum dan standar etika yang
berhubungan dengan konsep bisnis, seperti dalam hal kepemilikan, keadilan,
harga, persaingan, dan hubungan antara pemilik dengan karyawan. Secara
normatif, nilai-nilai dasar yang memberikan pedoman dalam perilaku bisnis
Islami tercermin dalam perilaku Nabi Muhammad SAW. Sebagai a trading
manager, perilaku bisnis Nabi, seperti digambarkan oleh Aisyah ra, adalah
memiliki motivasi dan perilaku Qur'ani, di antaranya: berwawasan ke depan
dan menekankan perlunya perencanaan (QS 59: 18).
Dalam konsep etika demikian, hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang
sudah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); mengutamakan kepentingan umum
(public interest), misalnya dengan penekanan pada penunaian zakat, infak dan
sedekah; menekankan perlunya profesionalisme dalam berbisnis, misalnya dalam
hal komitmen pada kualitas, produktivitas kerja, efektivitas, efisiensi, dan
tertib pembukuan.
Profesionalisme telah dicontohkan dalam keseluruhan perjuangan Nabi
Muhammad, bahkan dalam semua bidang kehidupannya. Hal itu merupakan tuntunan
moral dan etika Qur'ani. Tidak hanya dalam berbisnis (QS 2: 282-283); tapi
juga dalam memenuhi komitmen (janji) dengan tepat (QS 3: 152; QS 4: 122; dan
QS 30: 6); dalam memenuhi takaran, mempertahankan kejujuran dan keadilan
dalam bermuamalah (QS 87: 1-3); dalam mengutamakan efisiensi terkait
penggunaan sumber daya, tapi tidak kikir (QS 17: 26-27); dalam menegakkan
kedisiplinan kerja (QS 24: 51-52; QS 18: 85-89).
Nabi Muhammad juga dinamis dan selalu adaptif menghadapi perubahan (QS 2:
138; QS 2: 30). Ulet, bekerja keras, sabar dan pantang menyerah (QS 2:
155-157; QS 3: 186). Menekankan perlunya ukhuwah dan pemeliharaan hubungan
baik antarsesama manusia (QS 3: 103-104; QS 6: 159-165).
Etika bisnis Islami merupakan tatacara pengelolaan bisnis berdasarkan
Al-Qur'an,
hadist, dan hukum yang telah dibuat oleh para ahli fiqih. Terdapat empat
prinsip etika bisnis Islami: (1) Prinsip tauhid yang memadukan semua aspek
kehidupan manusia, sehingga antara etika dan bisnis terintegrasi, baik
secara vertikal (hablumminallah) maupun secara horizontal (hablumminannas).
Sebagai manifestasi dari prinsip ini, para pelaku bisnis tidak akan
melakukan diskriminasi di antara pekerja, dan akan menghindari
praktik-praktik bisnis haram atau yang melanggar ketentuan syariah.
(2) Prinsip pertanggungjawaban. Para pelaku bisnis harus bisa
mempertanggungjawabkan segala aktivitas bisnisnya, baik kepada Allah SWT
maupun kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memenuhi tuntutan
keadilan. (3) Prinsip keseimbangan atau keadilan. Sistem ekonomi dan bisnis
harus sanggup menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. (4)
Prinsip kebenaran. Dalam prinsip ini terkandung dua unsur penting, yaitu
kebajikan dan kejujuran. Kebajikan dalam bisnis ditunjukkan dengan sikap
kerelaan dan keramahan dalam bermuamalah, sedangkan kejujuran ditunjukkan
dengan sikap jujur dalam semua proses bisnis yang dilakukan tanpa adanya
penipuan sedikitpun.
Integrasi etika bisnis Islami dalam proses bisnis secara keseluruhan akan
berdampak pada beberapa pengaturan. Di antaranya: menentukan standar etika
dari konsep bisnis yang berlaku; menentukan praktik bisnis yang etis dan
tidak etis; menentukan bentuk lembaga bisnis yang sah dan sesuai ketentuan
syariah; menentukan prinsip dan prosedur akuntansi yang sesuai dengan
syariah Islam; dan menekankan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab
sosial (CSR) terhadap masyarakat.
Dengan menggunakan etika bisnis Islami sebagai dasar berperilaku, baik oleh
manajemen maupun oleh semua anggota organisasi, maka perusahaan akan
mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. SDM yang berkualitas
adalah yang memiliki kesehatan moral dan mental, punya semangat dalam
meningkatkan kualitas amal (kerja) di segala aspek, memiliki motivasi yang
bersifat inner, mampu beradaptasi dan memiliki kreativitas tinggi, ulet dan
pantang menyerah, berorientasi pada produktivitas kerja, punya kemampuan
berkomunikasi, mengutamakan kerapian dan keindahan kerja. Jika akal
dikendalikan iman, akan membuat seseorang dalam berbisnis tetap berpedoman
pada standar etika yang diyakininya.
Bila memiliki SDM yang berkualitas, maka akan lahir strategic cost reduction
(SCR) atau strategi pengurangan biaya, di mana SDM akan memfokuskan
pengurangan biaya pada penyebab timbulnya pemborosan yaitu kualitas yang
rendah. Peningkatan kualitas, keandalan dan kecepatan dalam menghasilkan
produk, mengakibatkan pengurangan total biaya yang dibebankan kepada
costumer. SCR ini memiliki karakteristik bagus, yaitu bertujuan menempatkan
perusahaan pada posisi kompetitif, berlingkup luas, berjangka panjang,
bersifat kontinyu, bersifat proaktif, berfokus ke seluruh value chain.
SDM yang berkualitas itu tentu sangat penting. Karyawan (anggota organisasi)
adalah penentu akhir keberhasilan SCR dalam jangka panjang. Keseriusan
manajemen puncak amat menentukan efektivitas program pengurangan biaya, dan
mindset sebagai landasan SCR.
Untuk memiliki SDM yang berkualitas, perlu adanya pemberdayaan karyawan
(employee empowerment), di mana hal ini merupakan langkah strategis untuk
mewujudkan pengurangan biaya dalam jangka panjang. Pemberdayaan karyawan
yang terintegrasi dengan etika bisnis Islami diharapkan akan melahirkan rasa
percaya antara manajer dengan karyawan.
Dalam konteks demikian, setiap anggota organisasi akan melakukan setiap
pekerjaan dengan penuh rasa tanggung jawab dan jujur. Dalam diri anggota
organisasi terdapat keyakinan bahwa setiap manusia adalah pemimpin, sehingga
harus bertanggung jawab atas pekerjaan/tugas yang diberikan kepadanya, baik
bertanggung jawab kepada Allah maupun kepada atasan di tempat mereka
bekerja.
Jadi, sebetulnya, untuk pengurangan biaya dalam jangka panjang, dibutuhkan
perubahan perilaku karyawan.
Karyawan merupakan kunci sukses dalam strategi pengurangan biaya.
Keberhasilan manajemen dalam pemberdayaan karyawan amat ditentukan oleh
kesadaran para karyawan terhadap perlunya nilai-nilai kebenaran dan moral
(nilai-nilai etika) sebagai landasan berperilaku dalam kaitan dirinya
sebagai pelaku bisnis.
Dengan demikian, pemberdayaan karyawan yang didasarkan pada etika bisnis
Islami merupakan langkah strategis untuk pengurangan biaya dalam jangka
panjang. Di sinilah, di antaranya, sangat pentingnya penerapan etika dalam
bisnis. Semoga hal itu cepat disadari oleh para pelaku bisnis di negeri ini.
Direktur Lembaga Tafsir Etika Sosial (LTES) Yogyakarta

ETIKA BISNIS DAN BISNIS BERETIKA

http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika/
October 9th, 2006 | Business

Seorang pria bernama Morgan Spurlock mengadakan sebuah percobaan iseng. Ia adalah pria dewasa yang sehat, segar bugar, siklus hidupnya bagus, dan tidak memiliki masalah kesehatan yang berarti. Ia kemudian nekat mencoba untuk mengonsumsi junk food dari sebuah perusahaan makanan cepat saji yang cukup terkenal untuk membuktikan hipotesis bahwa junk food memberi ekses sangat negatif pada tubuh.

Sebelum melakukan percobaan, Morgan melakukan berbagai pemeriksaan klinis pada 3 dokter yang berbeda untuk mengetahui kondisi fisik dan psikisnya. Setelah itu, selama 30 hari berturut-turut ia hanya mengonsumsi junk food dari perusahaan tersebut, 3 kali sehari, dan setidaknya mencoba setiap menu yang ada minimal 1 kali. Selama periode tersebut, ia terus melakukan pemeriksaan medis. Walau demikian, aktivitas kesehariannya tetap ia lakukan seperti biasa.

Hasilnya ternyata sungguh di luar dugaan. Selama 30 hari, Morgan sering mengalami stress dan depresi, sesak nafas, pusing, sulit tidur, dan bahkan, pasangannya mengeluhkan adanya pengaruh buruk dalam kehidupan seksual dan vitalitas mereka. Selama 30 hari tersebut, Morgan mengalami kenaikan berat badan 24,5 pon, kadar kolesterol membengkak hingga 230, dan tingkat kegemukan sebesar 18%.

Lebih buruk lagi, untuk menghilangkan penambahan bobot sebesar 20 pon tersebut diperlukan waktu selama 5 bulan, dan 9 bulan lagi untuk menghilangkan sisanya. Pendek kata, kesalahan yang dilakukan hanya selama 1 bulan (baca: buying nothing but junk food) harus ditebus dengan pengorbanan selama beberapa bulan lamanya.

Cerita di atas adalah kisah nyata yang diambil dari Super Size Me, sebuah film dokumenter karya Morgan Spurlock. Selain mengisahkan tentang percobaan nekat yang dilakukan Morgan, ada beberapa hal menarik yang diungkap juga dalam film tersebut. Beberapa di antaranya:

* Amerika nggak cuma mempunyai gedung-gedung tinggi, mobil yang pajang, tetapi juga orang-orang “besar.” Sekitar 60% penduduk Amerika diyakini mengalami obesitas, dengan konsentrasi Detroit dan Houston (Texas).
* Gaya hidup dan makanan yang keliru tidak hanya dibayar dengan duit, tetapi juga harus ditebus dengan kondisi tubuh, kesehatan, dan risiko kematian.
* Dalam suatu percobaan, ditunjukkan beberapa gambar tokoh (termasuk George Washington dan Jesus Christ) kepada beberapa anak. Tidak banyak anak yang bisa menebak. Mereka semua baru bisa menebak dengan tepat ketika disodori gambar badut Ronald McDonald.
* Industri junk food telah berkembang dengan sangat pesat. Sebuah perusahaan fast food ternama, dalam 1 hari bisa melayani 46 juta orang; melebihi jumlah penduduk Spanyol.
* Lebih parah lagi, junk food juga digalakkan melalui school lunch program.

Apa itu Etika Bisnis?

Definisi etika bisnis menurut Business & Society – Ethics and Stakeholder Management (Caroll & Buchholtz):

Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and equity.

Dari sumber yang lain, disebutkan:

Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning character or custom. This definition is germane to effective leadership in organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent values in service to the public.
(R. Sims, Ethics and Corporate Social Responsibility – Why Giants Fall, C.T.:Greenwood Press, 2003)

Jadi, ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:

* Ethics: Is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation, can also be regarded as a set of moral principles or values.
* Ethical behavior: Is that which isaccepted as morally “good” and “right” as opposed to “bad” or “wrong” in a particular setting.
* Morality: A system or doctrine of moral conduct which refers to principles of right and wrong in behavior.

Etika bisnis sendiri terbagi dalam:

* Normative ethics: Concerned with supplying and justifying a coherent moral system of thinking and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop, and justify basic moral principles that are intended to guide behavior, actions, and decisions.
R. DeGeorge, Business Ethics, 5th ed. (Upper Saddle River, N.J.: Prentice-Hall, 2002)
* Descriptive ethics: Is concerned with describing, characterizing, and studying the morality of a people, a culture, or a society. It also compares and contrasts different moral codes, systems, practices, beliefs, and values.
R. A. Buchholtz and S. B. Rosenthal, Business Ethics (Upper Saddle River, N.J.: Prentice Hall, 1998).

Perlunya Berbisnis dengan Etika

Sebenarnya, keberadaan etika bisnis tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan “remeh” seperti, “Saya belanja Rp 50.000 tapi cuma ditagih Rp 45.000. Perlu nggak saya lapor?”, atau, “Bisakah saya melakukan tindakan tidak etis/melanggar hukum untuk meningkatkan kinerja divisi saya?”, atau, “Should I accept this gift or bribe that is being given to me to close a big deal for the company?“, atau, “Is this standard we physicians have adopted violating the Hippo-cratic oath and the value it places on human life?“, dan pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya.

Sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.

Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.

Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997, menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.
Kita Sebagai Pebisnis

Kasus yang paling gampang adalah Enron — yang begitu sering didiskusikan di ruang kuliah. Sebenarnya, Enron adalah perusahaan yang sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi.

Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants: membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau biasa disebut “spark spread“.

Sebagai sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baik tersebut. Sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan, Enron kemudian tersungkur kolaps pada tahun 2001. Tepat satu tahun setelah California energy crisis.

Seleksi alam akhirnya berlaku. Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk akan mendapat punishment. Termasuk juga pihak-pihak yang mendukung tercapainya hal tersebut — dalam hal ini Arthur Andersen.

Masyarakat akhirnya juga lebih aware terhadap pasar modal. Pemerintah pun juga makin hati-hati dalam melakukan pengawasan. Penyempurnaan terhadap sistem terus dilakukan. Salah satunya adalah lahirnya Sarbanes-Oxley Act. Akibat mendzolimi pelaku pasar lainnya, Enron akhirnya terkapar karena melakukan penipuan dan penyesatan. Pun bagi “Enron-wannabe” lainnya, perlu berpikir ulang dua-tiga kali untuk melakukan hal serupa.

Memang benar. Kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar atau dunia bisnis dipenuhi oleh orang-orang jujur, berhati mulia, dan bebas dari akal bulus serta kecurangan/manipulasi. Tetapi sungguh, tidak ada gunanya berbisnis dengan mengabaikan etika dan aspek spiritual. Biarlah pemerintah melakukan pengawasan, biarlah masyarakat memberikan penilaian, dan sistem pasar (dan sistem Tuhan tentunya) akan bekerja dengan sendirinya.
Kita Sebagai Konsumen

Ini yang lebih penting.

Memang benar, tidak ada yang bisa menjadi produsen (atau konsumen) selamanya. Ada kalanya kita berada dalam posisi sebagai penjual dan ada kalanya kita sebagai pembeli. Saya sendiri, lebih sering berada dalam posisi sebagai konsumen — alih-alih sebagai seorang produsen.

Kembali ke kasus Morgan di atas, persaingan bisnis yang kian sengit memang mengakibatkan terdistorsinya batas-batas antara right-wrong atau good-bad. Lumrah sekali kita jumpai praktik bisnis yang menembus area abu-abu. Tidak jarang pula kampanye pemasaran begitu gencar digalakkan sehingga membuat kita bahkan tidak bisa mengenali diri kita sendiri. Kita “dipaksa” membeli barang yang kita tidak perlu. Kita “senang” mengonsumsi produk yang sebenarnya justru merusak diri kita. Kita “bahagia” memakai produk luar negeri sementara industri dalam negeri mulai kehabisan nafas.

Kompas beberapa waktu lalu pernah mengulas tentang gencarnya cengkeraman kapitalisme membelenggu negara-negara yang baru berkembang seperti Indonesia. Korbannya adalah masyarakat strata menengah dan masyarakat strata “agak bawah” yang “memaksakan diri” untuk masuk ke level yang lebih tinggi. Secara fundamental ekonomi, pengaruhnya jelas tidak baik karena ekonomi yang didasarkan pada tingkat konsumsi yang besar (apalagi dibiayai oleh utang) benar-benar rawan. Secara sosial, jelas fenomena ini akan menimbulkan pergeseran dan rentan terhadap benturan yang dampak turunannya sebenarnya cukup mengerikan.

Maka tak perlu heran jika di jaman sekarang seorang anak kecil akan lebih faham kosakata “starbucks”, “breadtalk”, “orchard road”, “gucci”, daripada kosakata lain seperti “gudeg”, “bunaken”, “senggigi”, “ketoprak”, dan sebagainya. Kita secara tidak sadar mengkiblatkan diri pada produk/jasa yang sebenarnya tidak terlalu bagus — melainkan karena praktik pemasaran dan operasional bisnis yang seringkali melanggar batas-batas etika.

Sebenarnya tidak ada yang “salah” dengan kapitalisme. Kapitalisme, yang didasarkan pada perdagangan, disebut Adam Smith sejak lama sebagai kunci kemakmuran. Ide ini sudah dibuktikan secara empiris oleh para akademisi. Dengan adanya perdagangan, maka spesialisasi, penghargaan, kebersamaan, perdamaian, serta kemakmuran bisa tercapai. Yang salah adalah ketika kapitalisme dijalankan dengan melanggar etika sehingga menodai nilai-nilai murni perdagangan itu sendiri.

Belajar dari pengalaman Morgan, sebagai konsumen kita memang harus mulai belajar untuk aware terhadap praktik-praktik bisnis yang melanggar batas-batas etika. Karena pada akhirnya konsumen selalu berada dalam posisi yang dirugikan. Sementara produsen memiliki kesempatan berkelit yang lebih banyak. The winner takes all.

Padahal, sebenarnya kita nggak perlu malu mengonsumsi tahu, tempe, atau daun singkong, sementara teman-teman kita makan di restoran fast food. Biarlah kita mengenakan produk dalam negeri sementara orang lain pakai Versace, Bvlgari, atau Luis Vuitton. Tidak ada yang akan menghukum kita hanya karena ponsel kita lebih lawas daripada milik rekan kita. Kita tidak perlu ganti mobil hanya karena tetangga kita barusan beli mobil baru. Kita juga tidak harus membeli rumah yang lebih besar sementara kita sendiri sebenarnya sudah cukup nyaman dengan rumah yang ada.

Dan percayalah. Tidak ada yang lebih tahu dan mengenal diri kita kecuali Tuhan dan diri kita sendiri.

Mumpung masih bulan Ramadhan. Ada baiknya kita banyak-banyak introspeksi.

Kamis, 12 November 2009

Blogger Sebagai Sebuah Profesi

Oleh Asta Qauliyah | September 11th, 2008

Apa motivasi yang melatar-belakangi Anda ketika pertama kali membuat blog? Jawabannya tentu saja bisa bermacam-macam. Namun kalau boleh saya ambil kesimpulan, hampir sebagian besar blogger bertujuan komersil saat memulai blognya. Ya, apa lagi kalau bukan berburu dolar dengan blog? Terlebih mencari pekerjaan susahnya bukan main saat ini. So, bisa jadi blogger adalah sebuah profesi alternatif di tengah semakin sempitnya lapangan pekerjaan.

Btw, sebenarnya mungkin tidak sih menjadikan blogger sebagai sebuah profesi? Bagi Anda yang sudah pernah merasakan manisnya buah online earning, jawabannya tentu saja MUNGKIN. Malah sudah banyak blogger yang memilih serius dan fokus mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk menjadi blogger profesional. Bahasa kasarnya, mencari hidup dengan blog. Memang hasilnya cukup? Anda yang belum pernah menerima hasil online earning mungkin bertanya seperti itu.

Mari kita hitung-hitungan sebentar

Pertama kita catat apa saja program yang bisa diikuti untuk mencari penghasilan dengan blog. Ada beberapa program, sebut saja KlikSaya dan KumpulBlogger untuk iklan pay per click (PPC) lokal. Lalu untuk program paid review ada Blogsvertise dan SponsoredReviews. Tidak usah banyak-banyak. Hanya dengan mengandalkan paid review dan PPC saja sebetulnya penghasilan yang akan diperoleh sudah lumayan banyak kalau sekedar untuk makan saja.

KlikSaya dan KumpulBlogger memberikan komisi antara Rp 150 – Rp 300/klik. Sementara dari Blogsvertise kita bisa memperoleh sekitar $2 – $10/review. Kemudian di SponsoredReviews komisinya berkisar antara $3.25 sampai tak terbatas untuk tiap review, tergantung hasil penawaran yang Anda ajukan pada advertiser.

Sekarang coba kita hitung penghasilan yang bisa didapat setiap bulan. Kalau diambil perhitungan minimal, taruh kata setiap hari blog kita dikunjungi oleh 100 orang dan 20 orang dari pengunjung-pengunjung tersebut mengklik iklan KlikSaya dan KumpulBlogger masing-masing satu kali. Lalu katakanlah dari Blogsvertise kita memperoleh task senilai $2/hari dan dari SponsoredReviews memperoleh opportunity senilai $3.25/hari. Berapa total penghasilan yang didapat?

KlikSaya Rp 150 x 20 x 30 = Rp 90.000,-
KumpulBlogger Rp 150 x 20 x 30 = Rp 90.000,-
Blogsvertise $2 x 30 = $60 (= Rp 540.000,- dengan kurs Rp 9.000/dolar)
SponsoredReviews $3.25 x 30 = $97.5 (= Rp 877.500,-)
Jumlah totalnya adalah Rp 1.597.500,-

Wow, penghasilan sebesar itu tentu bukan jumlah yang kecil. Padahal yang dipakai baru hitung-hitungan minimal dengan satu blog. Bagaimana kalau angka-angkanya dinaikkan sedikit saja? Atau bagaimana kalau blognya lebih dari satu? Belum lagi kalau program yang diikuti juga tak hanya program-program yang disebutkan di atas? Maka tak heran kalau banyak blogger yang bisa berpenghasilan minimal tujuh digit setiap bulan. Dan juga tak heran kalau kemudian banyak orang tertarik menjadi blogger.

Nah, saya rasa Anda sekarang sudah tahu mungkin tidak blogger dijadikan sebagai sebuah profesi. Sangat mungkin sekali.

Catatan: Artikel ini ditulis khusus oleh Eko Nurhuda untuk AstaQauliyah.com.
http://astaqauliyah.com/2008/09/11/blogger-sebagai-sebuah-profesi/

Etika Profesi TI Dikalangan Universitas

Privasi yang berlaku di lingkungan Universitas juga berlaku untuk bahan-bahan elektronik. Standar yang sama tentang kebebasan intelektual dan akademik yang diberlakukan bagi sivitas akademika dalam penggunaan media konvensional (berbasis cetak) juga berlaku terhadap publikasi dalam bentuk media elektronik. Contoh bahan-bahan elektronik dan media penerbitan tersebut termasuk, tetapi tidak terbatas pada, halaman Web (World Wide Web), surat elektronik (e-mail), mailing lists (Listserv), dan Usenet News.

Kegunaan semua fasilitas yang tersedia sangat tergantung pada integritas penggunanya. Semua fasilitas tersebut tidak boleh digunakan dengan cara-cara apapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Negara Republik Indonesia atau yang bertentangan dengan lisensi, kontrak, atau peraturan-peraturan Universitas. Setiap individu bertanggung jawab sendiri atas segala tindakannya dan segala kegiatan yang dilakukannya, termasuk penggunaan akun (account) yang menjadi tanggung jawabnya.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia dan peraturan Universitas menyatakan bahwa sejumlah kegiatan tertentu yang berkaitan dengan teknologi informasi dapat digolongkan sebagai tindakan: pengabaian, pelanggaran perdata, atau pelanggaran pidana. Sivitas akademika dan karyawan harus menyadari bahwa tindakan kriminal dapat dikenakan kepada mereka apabila melanggar ketentuan ini. Contoh tindakan pelanggaran tersebut adalah, tetapi tidak hanya terbatas pada, hal-hal sebagai berikut:
1. Menggunakan sumber daya teknologi informasi tanpa izin;
2. Memberitahu seseorang tentang password pribadi yang merupakan akun yang tidak dapat dipindahkan-tangankan.
3. Melakukan akses dan/atau upaya mengakses berkas elektronik, disk, atau perangkat jaringan selain milik sendiri tanpa izin yang sah;
4. Melakukan interferensi terhadap sistem teknologi informasi atau kegunaan lainnya dan sistem tersebut, termasuk mengkonsumsi sumber daya dalam jumlah yang sangat besar termasuk ruang penyimpanan data (disk storage), waktu pemrosesan, kapasitas jaringan, dan lain-lain, atau secara sengaja menyebabkan terjadinya crash pada sistem komputer melalui bomb mail, spam, merusak disk drive pada sebuah komputer PC milik Universitas, dan lain-lain);
5. Menggunakan sumber daya Universitas sebagai sarana (lahan) untuk melakukan crack (hack, break into) ke sistem lain secara tidak sah;
6. Mengirim pesan (message) yang mengandung ancaman atau bahan lainnya yang termasuk kategori penghinaan;
7. Pencurian, termasuk melakukan duplikasi yang tidak sah (illegal) terhadap bahan-bahan yang memiliki hak-cipta, atau penggandaan, penggunaan, atau pemilikan salinan (copy) perangkat lunak atau data secara tidak sah;
8. Merusak berkas, jaringan, perangkat lunak atau peralatan;
9. Mengelabui identitas seseorang (forgery), plagiarisme, dan pelanggaran terhadap hak cipta, paten, atau peraturan peraturan perundang-undangan tentang rahasia perusahaan;
10. Membuat dengan sengaja, mendistribusikan, atau menggunakan perangkat lunak yang dirancang untuk maksud kejahatan untuk merusak atau menghancurkan data dan/atau pelayanan komputer (virus, worms, mail bombs, dan lain-lain).

Universitas melarang penggunaan fasilitas yang disediakannya untuk dipergunakan dengan tujuan untuk perolehan finansial secara pribadi yang tidak relevan dengan misi Universitas. Contoh penggunaan seperti itu termasuk membuat kontrak komersial dan memberikan pelayanan berbasis bayar antara lain seperti menyewakan perangkat teknologi informasi termasuk bandwidth dan menyiapkan surat-surat resmi atau formulir-formulir resmi lain. Semua layanan yang diberikan untuk tujuan apapun, yang menggunakan sebahagian dari fasilitas sistem jaringan Universitas untuk memperoleh imbalan finansial secara pribadi adalah dilarang.
Dalam semua kegiatan dimana terdapat perolehan finansial pribadi yang diperoleh selain kompensasi yang diberikan oleh Universitas, maka kegiatan tersebut harus terlebih dahulu memperoleh izin resmi dari Universitas.

Pelanggaran terhadap Kode Etik Teknologi Informasi ini akan diselesaikan melalui proses disipliner (tata tertib) standar oleh otoritas disipliner yang sah sebagaimana diatur di dalam peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Universitas tentang disiplin mahasiswa, dosen dan karyawan. PSI dapat mengambil tindakan yang bersifat segera untuk melindungi keamanan data dan informasi, integritas sistem, dan keberlanjutan operasional sistem jaringan.

Setiap mahasiswa, dosen, dan karyawan Universitas sebagai bagian dari komunitas akademik dapat memberikan pandangan dan saran terhadap kode etik ini baik secara individu maupun secara kolektif demi terselenggaranya pelayanan sistem informasi dan sistem jaringan terpadu Universitas yang baik. PSI akan melakukan evaluasi, menampung berbagai pandangan, dan merekomendasikan perubahan yang perlu dilakukan terhadap kode etik ini sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.

Etika Bisnis : Pelanggaran HAKI

PT Huawei Tech Investment, pemegang hak cipta handset Huawei Esia di Indonesia, akan mengambil tindakan hukum terhadap pihak-pihak yang melanggar hak cipta miliknya dan tidak akan segan untuk menindaklanjuti dengan langkah hukum yang lebih tegas sama halnya seperti upaya pidana yang telah dilakukan sebelumnya. munculnya praktik unlocking yang dilakukan pihak lain terhadap handset Huawei yang sejatinya khusus diciptakan agar hanya dapat digunakan untuk layanan jasa telekomunikasi Esia bundling. sebetulnya beberapa waktu lalu, telah mengambil tindakan hukum tegas terhadap pihak lain yang melakukan praktik unlocking terhadap handset Huawei Esia.

Dari tindakan hukum tersebut,pengadilan telah menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan terhadap pihak ketiga yang mengunlock handset yang hak ciptanya dimiliki oleh perusahaan tersebut. Akan tetapi, yang paling penting adalah bahwa putusan itu telah menunjukkan bahwa perbuatan unlocking merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum. perbuatan tersebut melanggar hak cipta dan jelas-jelas menimbulkan kerugian yang relatif sangat besar baik kerugian secara materiel maupun immateriel. Kerugian itu, memang belum dapat disampaikan secara pasti jumlahnya Akan tetapi, nilai terbesarnya adalah buruknya persepsi risiko berinvestasi dan kepastian hukum pemasaran produk pada umumnya dan industri telekomunikasi Indonesia pada khususnya
Selain itu, sebagai produsen yang bertanggung jawab perusahaan itu juga memiliki hak dan kewajiban untuk melindungi hak cipta atas produk-produk yang diciptakan oleh pihaknya

Pelanggaran Hak Cipta

Para aparat penegak hukum masih memiliki perbedaan persepsi dalam upaya penegakan hukum di bidang hak kekayaan intelektual (HKI) di Indonesia. Hal ini mengakibatkan keputusan pengadilan yang menyangkut kasus pelanggaran HKI tidak optimal. kampanye Tim Nasional PPHKI cenderung menyasar pusat perbelanjaan (mal) dan BUMN. beberapa kali Poltabes Bandung melakukan upaya penegakan hukum terhadap para produsen dan pedagang produk bajakan. Namun, ketika sampai di pengadilan, hukuman yang dijatuhkan hakim tidak maksimal seperti hanya beberapa bulan.

Akibatnya para pelaku bisa langsung bebas pasca keputusan hakim tersebut karena dipotong masa tahanan. Padahal,para aparat di pengadilan seharusnya memberikan hukuman maksimal supaya muncul efek jera (deterrence) bagi para pelaku pelanggaran.
pihak kepolisian akan terus bergerak melakukan upaya penegakkan hukum. Namun memerlukan dukungan seperti dari aparat di pengadilan supaya upaya penegakan hukum ini sejalan. Berdasarkan UU Hak Cipta No 19/2002, hukuman maksimal bagi pelanggaran kasus HKI adalah 5 tahun penjara dan atau denda Rp 500 juta.

Etika Bisnis

Kasus Pelanggaran Software


Kasus pelanggaran piranti lunak atau software bajakan di Indonesia turun signifikan. Pada 2006, kasus software bajakan yang ditangani Kepolisian RI sebanyak 1.443 kasus, tapi pada 2007 turun menjadi 598 kasus. penurunan itu karena semakin ketatnya pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran software. Kepolisian menangkap 12 tersangka pengguna software bajakan untuk pabrikan, 61 orang duplikator, dan 668 pedagang.

Sementara pada tahun ini, jumlah tersangka pelanggaran piranti lunak yang berhasil dijaring sebanyak 16 orang duplikator dan 36 pedagang. Adapaun wilayah yang paling banyak kasus pelanggaran hak cipta ini adalah di DKI Jakarta dan Jawa Timur.

Modus penggandaan software bajakan telah bergerser dari pabrikan ke industri rumahan dengan memakai cd burning, Sehingga pengawasannya makin sulit.Pemberantasan software bajakan juga harus dilakukan dengan memperketat pengawasan terhadap masuknya barang-barang untuk memproduksi software bajakan, seperti pengawasan di bandara. Ini menjadi tugas Bea dan Cukai. Tapi pengawasan di bandara itu bukan berupa razia software bajakan terhadap penumpang pesawat yang isunya marak beredar belakangan ini. ”Polisi tidak melakukan razia terhadap perseorangan, Prioritas pemberantasan software bajakan adalah perusahaan yang memakai untuk kepentingan komersil.

Karena itu, bila ada razia software bajakan yang mengaku dari Kepolisian ke rumah atau tempat umum, masyarakat diminta segera melapor ke Kepolisian terdekat.
perusahaan piranti lunak anggota BSA juga tidak ada yang terlibat dalam razia itu.