Sabtu, 19 Desember 2009

Etika Bisnis Membangun Kepedulian dalam Perusahaan dan Masyarakat

oleh: Adolf Bramandita

Saat ini, mungkin ada sebagian masyarakat yang belum mengenali apa itu etika dalam berbisnis. Bisa jadi masyarakat beranggapan bahwa berbisnis tidak perlu menggunakan etika, karena urusan etika hanya berlaku di masyarakat yang memiliki kultur budaya yang kuat. Ataupun etika hanya menjadi wilayah pribadi seseorang. Tetapi pada kenyataannya etika tetap saja masih berlaku dan banyak diterapkan di masyarakat itu sendiri. Bagaimana dengan di lingkungan perusahaan? Perusahaan juga sebuah organisasi yang memiliki struktur yang cukup jelas dalam pengelolaannya. Ada banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan terbukanya penyelewengan sangat mungkin terjadi. Baik dalam tataran manajemen ataupun personal dalam setiap team maupun hubungan perusahaan dengan lingkungan sekitar. Untuk itu etika ternyata diperlukan sebagai kontrol akan kebijakan, demi kepentingan perusahaan itu sendiri.

Namun apakah etika itu sendiri dapat teraplikasi dan dirasakan oleh pihak-pihak yang wajib mendapatkannya? Pada prakteknya banyak perusahaan yang mengesampingkan etika demi tercapainya keuntungan yang berlipat ganda. Lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga menggeser prioritas perusahaan dalam membangun kepedulian di masyarakat. Kecenderungan itu memunculkan manipulasi dan penyelewengan untuk lebih mengarah pada tercapainya kepentingan perusahaan. Praktek penyimpangan ini terjadi tidak hanya di perusahaan di Indonesia, namun terjadi pula kasus-kasus penting di luar negeri.

Contoh kasus di dalam negeri, kita diingatkan oleh Freeport dengan perusakan lingkungan. Masyarakat dengan mata kepala sendiri menyaksikan tanah airnya dikeruk habis. Sehingga dampak dari hadirnya Freeport mendekatkan masyarakat dari keterbelakangan. Kalaupun masyarakat menerima ganti rugi, itu hanyalah peredam sesaat, karena yang terjadi justru masyarakat tidak banyak belajar dari usahanya sendiri. Masyarakat terlena dengan ganti rugi tiap tahunnya, padahal dampak jangka panjangnya sungguh luar biasa. Masyarakat akan semakin terpuruk dari segi mental dan kebudayaannya akan terkikis. Juga dalam beberapa tahun ini, tentunya kita masih disegarkan oleh kasus lumpur Lapindo. Kita tahu berapa hektar tanah yang terendam lumpur, sehingga membuat masyarakat harus meninggalkan rumahnya. Mungkin bisa jadi ada unsur kesengajaan di dalamnya. Demi peningkatan profit yang tinggi, ada hal yang perlu dikorbankan, tentunya tidak lain masyarakat itu sendiri. Kita juga masih ingat akan kasus Teluk Buyat yang menyebabkan tercemarnya lingkungan tersebut. Yang cukup menghebohkan mungkin kasus Marsinah, seorang buruh yang memperjuangkan hak-haknya, tetapi mengalami peristiwa tragis yang membuat nyawanya melayang.

Semua itu terjadi karena tidak diterapkannya etika dalam berbisnis. Di dalam etika itu sendiri terkandung penghargaan, penghormatan, tanggungjawab moral dan sosial terhadap manusia dan alam. Kalau kita melihat lebih jauh tentunya ada dua kepentingan, baik dari perusahaan dan masyarakat yang perlu diselaraskan. Di dalamnya terkandung juga hak dan kewajiban yang harus terpenuhi. Coba mari kita renungkan bersama, bukankah tidak diterapkannya etika dalam berbisnis justru akan menjadi bumerang bagi perusahaan tersebut? Mungkin akan banyak biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan kasus serta citra perusahaan di masyarakat luas semakin miring. Hal ini justru akan sangat merugikan perusahaan itu sendiri.

Belum lagi kasus yang terjadi di luar negeri. Sebagai contoh adalah kasus asuransi Prudential di Amerika. Belum lagi skandal Enron ,Tycon, Worldcom dsb. Banyaknya kasus yang terjadi membuat masyarakat berpikir dan mulai menerapkan etika dalam berbisnis. Apalagi sekarang masyarakat mulai membicarakan CSR (Corporate Social Responsibility). Apa itu? Dalam artikel yang ditulis oleh Chairil Siregar disebutkan CSR merupakan program yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan undang-undang pasal 74 Perseroan Terbatas. Tentunya dengan adanya undang-undang ini, industri maupun korporasi wajib melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan beban yang memberatkan. Salah satu contoh yaitu komitmen Goodyear dalam membangun masyarakat madani, ekonomi, pendidikan, kesehatan jasmani, juga kesehatan sosial. Kepedulian ini sebagai wujud nyata peran serta perusahaan di tengah masyarakat. Perlu diingat pembangunan suatu negara bukan hanya tanggungjawab pemerintah dan industri saja tetapi setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan kualitas hidup masyarakat.

Bisnis Sukses di saat Krisis

Bisnis Sukses di saat Krisis
sumber : http://sabili.co.id/index.php/20081101132/Tijarah/Mendulang-Untung-di-saat-Krisis.htm

Bagi H. Raden Doddy Sularso Bangun, pengusaha Sari Tebu Murni ini, pemberitaan krisis global di media massa, tak membuatnya menjadi panik, apalagi ngoyo. Lelaki berperawakan tinggi besar itu tetap bersemangat dan menjalankan aktivitas bisnisnya seperti biasa, yakni sebagai penjual sari tebu murni. “Krisis keuangan AS, krisis global atau apapun istilah, saya belum merasakan dampaknya tuh. Jadi enjoy aja,” ujar lelaki kelahiran Jambi 1972 silam.

Seperti dituturkan Haji Doddy, begitu ia akrab disapa, sebelumnya, adalah seorang pengusaha kayu di Jambi. Tapi sejak pemerintah sedang galak-galaknya melakukan pengawasan terhadap illegal logging, lama-lama ia berpikir, usahanya ini tak akan memiliki prospek yang bagus di kemudian hari. “Feeling saya, usaha ini tidak bisa untuk jangka panjang. Bahkan saya sempat bingung mau usaha apa? Setiap shalat, saya minta petunjuk Allah agar diberikan jalan terbaik.”

Begitu Doddy keliling Jakarta, saat ia beli seteguk air tebu untuk melepas dahaga, lalu terbetik dalam benaknya: “Wah kalau saya coba usaha sari tebu murni yang banyak ditanam di Jambi dengan kualitas yang sangat baik, saya, pasti sukses. Jika membandingkan tebu Jawa dengan tebu Jambi jelas jauh kualitasnya. Tebu Jawa adalah bahan baku untuk gula, tapi tidak cocok untuk dikonsumsi (minum). Sedangkan tebu Jambi cocok untuk dikonsumsi.”

Pria setengah baya ini lalu banting stir setelah melihat peluang usaha tebu di Jakarta belum dilirik oleh orang lain. Doddy yakin usaha ini bisa berhasil. Dari hasil survey di lapangan, kebanyakan tebu yang dijual di seluruh Jakarta, terutama di pinggir jalan seharga Rp. 2000, selalu menggunakan biang gula agar tambah manis, jadi bukan murni tebu. Kalau tidak pakai biang kata penjualnya tidak untung.

Tebu Jawa yang tidak ada airnya, biasanya ditambah dengan air es supaya banyak, sehingga kadar kemurnian atau sari tebunya menjadi hilang. Bila sudah tak terasa manis, lalu ditambah biang gula. “Saya sudah survey mulai dari Tanah Abang, Mangga Besar dan sekitarnya, semua pakai biang gula.

“Feeling saya, kalau sari tebu murni masuk putus nih. Saya lihat, di Jakarta, belum ada yang menjajakan tebu murni. Jika tebu Jambi saya bawa ke Jakarta, dimana penduduknya padat, cuacanya panas, dan kelasnya menengah, saya yakin usaha ini membawa berkah,” tukasnya.

Sejak itulah, Doddy ingin mengangkat “derajat” tebu dari kesan jorok dan rendah menjadi bersih dan berkelas. Optimis Doddy pun bangkit. Untuk kali pertama, ia keluarkan modal awal sebesar Rp. 50 juta. Dengan uang sebesar itu, ia membuka lima gerai plus mesin perasan tebu, lalu bertambah menjadi 10 gerai, hingga meningkat lagi 17 gerai. Benar saja, feeling bisnisnya menghantarkan kesuksesan.

Di angka ini Doddy pun menyetop dulu penambahan gerai. Ia lalu memfokuskan diri untuk menjalin kemitraan dan membuat izin usaha di Departemen Perdagangan. Setelah maju, ia putar terus modalnya. Dari penambahan modal Rp. 100 juta, ia kini telah memiliki banyak armada dari gerobak, motor hingga mobil. Untuk motor ia sudah memiliki 70 unit motor, 5 unit mobil dan 10 unit gerobak.

Saat ini, jumlah total asset Doddy sudah mencapi milyaran rupiah. “Belum lama ini, saya baru beli lahan baru, termasuk gudang, hingga rumah. Semuanya hasil dari tebu. Bahkan saya bisa pergi haji dari usaha tebu. Padahal usaha saya ini baru tiga tahun berjalan, yakni sejak tahun 2005,” katanya

Dikatakan Doddy, minuman perasan tebu yang ia tawarkan sangat aman dan murni. Dengan berani ia menjamin khasiat tebu perasan sangat bermanfaat bagi kesehatan termasuk jantung, pereda batuk, meredam panas tubuh, mengurangi diabetes dan lainnya. "Sari tebu dari Jambi berbeda dengan gula olahan yang berasal dari tebu Jawa," jelasnya.

Keberhasilan Doddy kemudian menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengikuti jejaknya bisnis tebunya. Dengan cerdas, Doddy pun menawarkan usahanya ini sebagai usaha kemitraan. Alhasil, respons yang didapat luar biasa, satu demi satu kontrak perjanjian kerjasama kemitraan ditandatanganinya. Berkantor di Jl. Raya Kabayoran Lama Plaza Permata Ruko No 12 A, satu per satu orang berdatangan untuk menjalin kemitraan dengan Si Raja Tebu itu.

Siapa nyana, usaha minuman kampung dengan brand “Sari Tebu Murni, Rajanya Tebu” ini berkembang hingga ke beberapa wilayah kota besar, seperti wilayah Depok, Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Dejabotabek), termasuk Lampung, Bandung, hingga Semarang. Untuk wilayah dejabotabek saja sudah mencapai 300 lebih gerai. Itu semua berkat dijalinnya sebuah kemitraan. Rencananya Doddy akan memperluas kemitraan di Surabaya dan Batam pada tahun depan.

Salah satu kunci rahasia dari keberhasilan usahanya adalah pasokan tebu yang cukup dari daerah pemasok tebu di Jambi, Sumatra. Menurutnya tebu khusus yang ia gunakan adalah tebu buah bukan tebu yang biasa dipakai dalam pembuatan gula pada umumnya, ukurannya pun lebih besar. "Suplai bahan baku cukup, karena saya punya stok dengan sistem plasma dari petani tebu di Jambi seluas 500 hektar," ujarnya.

Pengembangan usaha tebunya itu, bukan dilakukan dengan system franchise, melainkan kemitraan. Alasan Doddy tidak menggunakan system franchise, karena dalam UU Franchise, diharuskan membayar pajak, sedangkan kemitraan tidak. Tanpa promosi, hanya dari mulut ke mulut, kemitraan pun terjalin. Dody berpikir, kenapa beli tebu harus mengantri, ada kesan susah sekali untuk dapatkan tebu, maka ia ingin seluruh Jakarta, orang mudah untuk mendapatkan tebu.

“Bila masih 300 gerai saja, orang masih susah mencarinya. Saya menargetkan, bila di Jakarta sudah mencapai 1000 gerai, bisa dipastikan sari tebu murni mudah didapatkan di Jakarta. Kalau untuk seluruh Indonesia minimal 4000 gerai. Bila sudah mencapai angka itu, tentu harus membuat lahan baru, agar bahan baku tebu tetap tersedia. Khawatirnya, penambahan gerai yang tidak disesuaikan dengan stok tebu, bisa repot.”

Bagi yang mau bermitra dan mencoba peruntungan dibisnis ini ada beberapa tawaran yang bisa dipilih. Yaitu paket operasional dengan kendaraan motor, dengan membeli perangkat seharga Rp 32,5 juta lengkap dengan peralatan pendukung dan bahan baku sebanyak 50 batang tebu sudah bisa memulai bisnis ini. Itu sudah termasuk mesin pemeras tebu, gerobak, gelas, dan sedotan.

Bagi yang mau mencoba kredit, pihak ‘Raja Tebu’ ini menawarkan paket kredit motor operasional dengan uang muka Rp 10,5 juta, kredit selama 3 tahun dengan cicilan per bulan Rp 700 ribu lebih. Sedangkan untuk gerai ditawarkan Rp 16,5 juta, untuk gerai khusus di mall ditawarkan Rp 20 juta. Dalam kemitraan ini si mitra wajib membeli bahan baku dari Raja tebu. Peralatan yang dibeli khususnya mesin hanya sebatas hak pakai.

"Dikatakan pelanggaran berat bila si mitra membeli tebu ke orang lain. Mesin sebagai hak pakai saja, kecuali motor akan menjadi milik mitra, selagi tidak ada pelanggaran kemitraan terus berlanjut," paparnya.

Doddy menjelaskan bahwa segmen pasar yang ia incar adalah menengah keatas, sehingga faktor kebersihan operasional gerai menjadi kunci utama. Maklum harga yang ia tawarkan setiap gelasnya terbilang cukup mahal yaitu Rp 4.000 sampai Rp 8.000 per gelas tebu perasan.

Doddy merinci jika mitra mampu menjual minimal 50 gelas per hari dalam setiap gerai maka keuntungan bersih yang bisa diraup perbulannya bisa mencapai Rp 1,5 juta, sedangkan jika 100 gelas lebih per hari keuntungannya bisa mencapai Rp 3,5 juta sampai Rp 4 juta. Untuk harga tebu, Doddy menjual khusus diantar Rp 7.500 per batang dengan panjang 3 meter, jika membeli sendiri dijual Rp 6.500. "Satu batang bisa menghasilkan 7 gelas minimal," imbuhnya.

Ia mengaku permintaan tebu perharinya bisa mencapai 2000 batang yang disuplai dari Jambi untuk kebutuhan mitra. Itulah sebabnya, setiap hari Doddy harus mengangkut banyak tebu dari Jambi ke Jakarta dengan menggunakan truk.

Kini, Sari Murni Tebu Si Raja Tebu ini mulai digemari sebagai minuman ringan. Minuman tebu yang semula hanya ada di kawasan perkebunan tebu di Jawa dan Sumatra kini sudah mulai banyak ditemui penjual dipinggir jalan. “Usaha kampung pun naik daun. Siapa sangka, kemitraan 'Sari Tebu Murni Raja Tebu' ini mendulang untung besar dan sukses di tengah krisis.

Dampak Pelanggaran Etika Dalam Bisnis

Sumber : http://www19.indowebster.com/d8c8cead623ad43a77346417389656e5.pdf

Bisnis dapat dikatakan sebagai suatu aktivitas yang bertujuan menghasilkan laba, sehingga sah-sah
saja jika para pelaku bisnis berusaha memperoleh keuntungan dari setiap aktivitas bisnis yang
dilakukannya. Hal tersebut menjadi tidak wajar ketika setiap pelaku bisnis menginginkan keuntungan
eksesif dengan menghalalkan segala cara guna memperoleh laba semaksimal mungkin. Praktik bisnis
yang tidak sehat akan memberikan dampak negatif bagi para stakeholders, karena tidak akan
menumbuhkembangkan profesionalisme bisnis dan etos kerja yang tinggi, melainkan justru akan
menggerogoti ketahanan bisnis dari dalam, sehingga menjadikan pilar-pilar ekonomi semakin rapuh.
Jika praktek bisnis yang tidah sehat sudah berlaku umum dalam suatu negara maka akan
memberikan citra negatif pada bangsanya. Sebagai contoh adalah praktik-praktik bisnis bernuansa KKN
(korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang pernah merajalela dan dampaknya terbukti telah menggerogoti
dan memporakporandakan negara kita. Saat ini, dalam hal KKN Indonesia menempati ranking ketiga
terparah di dunia setelah Nigeria dan Kroasia.
Praktik bisnis yang penuh dengan kecurangan telah menjadikan kapitalis-kapitalis jago kampung
yang tidak mempunyai daya saing, hanya mengandalkan berbagai fasilitas, sangat bergantung pada
derajat kedekatannya dengan penguasa, dapat bertindak sebagai tiran terhadap karyawannya,
menghamburkan kekayaan negerinya dan bahkan melarikannya ke manca negara, tidak mempunyai etos
kerja yang tinggi, dan berbagai kelemahan lainnya yang tidak seharusnya dimiliki para pelaku bisnis
profesional. Hal ini memperlemah daya saing Indonesia dalam menghadapi era pasar bebas.
Era pasar bebas memberikan dampak pada persaingan bisnis yang semakin ketat dan semakin
meningkat intensitasnya sebagaimana dirasakan oleh para pelaku bisnis. Hal tersebut acapkali memaksa
pelaku bisnis bersinggungan dengan masalah etika demi mencapai tujuannya yang berupa optimalisasi
laba. Dalam kondisi yang sangat kompetitif seharusnya perlu dipertimbangkan relevansi penerapan
prinsip ekonomi yang menganjurkan organisasi untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan
pengorbanan sekecil-kecilnya, karena hal tersebut terbukti menjadi salah satu pemicu timbulnya praktikpraktik
bisnis yang tidak sehat (unfair business).
Perkembangan yang sangat pesat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya perimbangan antara
kemajuan material dan nonmaterial. Kesadaran perlunya keseimbangan akan semakin berkembang
sehingga keputusan-keputusan bisnis senantiasa harus meliputi berbagai implikasi terhadap lingkungan,
kebudayaan, agama, etika moral, dan sebagainya (Ismangil, 1998).
Dalam pendekatan stakeholders (Atkinson dkk., 1997) dinyatakan bahwa untuk mencapai tujuan
utamanya organisasi harus mempertimbangkan tujuan sekundernya. Tujuan sekunder organisasi
merupakan tujuan utama para stakeholders. Aspek kepaduan (fit) perlu dipertimbangkan dalam upaya
mencapai tujuan organisasi sehingga tercipta kondisi yang memungkinkan berkembangnya pertalian dan
kemitraan usaha secara luas dalam suatu jejaring yang serasi sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu
4
sistem perekonomian yang harmonis secara global. Untuk menciptakan harmoni tersebut diperlukan
etika usaha yang mengarahkan pada persaingan yang sehat (fair competition).
Semakin banyak perusahaan pesaing menyebabkan semakin pendek daur hidup produk dan
semakin kuat pula bargaining power konsumen. Organisasi harus senantiasa dapat meningkatkan daya
saing agar dapat tetap survive atau bahkan mampu mencapai sustainable competitive advantage. Persyaratan
utama yang harus dimiliki untuk meningkatkan daya saing adalah kemampuannya untuk menciptakan
produk berkualitas yang disertai dengan penerapan strategi bisnis yang berorientasi pada pasar (marketbased
view) atau sumberdaya (resource-based view). Hal tersebut akan menjadikan praktik bisnis yang tanpa
disertai perilaku etis tidak akan mampu bertahan dalam jangka panjang dan mencapai keunggulan
kompetitif, bahkan kemungkinan akan menjadi sekadar pecundang karena ditinggalkan pelanggannya.
Untuk itu peranan akuntan manajemen menjadi semakin penting.
Dalam praktiknya akuntan manajemen seringkali menghadapi hambatan dalam menerapkan
perilaku etis. Seorang akuntan manajemen yang ingin menjalankan pekerjaan secara kompeten
adakalanya karena kondisi lingkungan yang memaksa (tidak kondusif) atau karena harus menuruti
perintah atasannya, terpaksa melakukan pelanggaran atas hukum, peraturan, dan standar teknis yang
berlaku. Salah satu contohnya adalah kasus penyimpangan pajak yang melibatkan anak perusahaan PT
BHI, pejabat pajak, dan kantor akuntan publik terkemuka yang merupakan salah satu dari the big five
yang terungkap baru-baru ini dan terancam undang-undang anti suap perusahaan Amerika yang
beroperasi di luar negeri. Contoh lainnya adalah kasus ENRON, HIH, dan perlunya audit ulang PT
Telkom karena ditolaknya laporan keuangan auditan PT Telkom oleh Security Exchange Commission
(SEC).

ETIKA BISNIS & PEDOMAN PERILAKU

ETIKA BISNIS & PEDOMAN PERILAKU
http://www.kpk.go.id/modules/edito/content.php?id=33

Prinsip Dasar

Untuk mencapai keberhasilan dalam jangka panjang, pelaksanaan GCG perlu dilandasi oleh integritas yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pedoman perilaku (code of conduct) yang dapat menjadi acuan bagi organ perusahaan dan semua karyawan dalam menerapkan nilai-nilai (values) dan etika bisnis sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan. Prinsip dasar yang harus dimiliki oleh perusahaan adalah:

1. Setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan usahanya.
2. Untuk dapat merealisasikan sikap moral dalam pelaksanaan usahanya, perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati oleh organ perusahaan dan semua karyawan. Pelaksanaan etika bisnis yang berkesinambungan akan membentuk budaya perusahaan yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai perusahaan.
3. Nilai-nilai dan rumusan etika bisnis perusahaan perlu dituangkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku agar dapat dipahami dan diterapkan.

Pedoman Pokok Pelaksanaan

A. Nilai-nilai Perusahaan

1. Nilai-nilai perusahaan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Oleh karena itu, sebelum merumuskan nilai-nilai perusahaan, perlu dirumuskan visi dan misi perusahaan.
2. Walaupun nilai-nilai perusahaan pada dasarnya universal, namun dalam merumuskannya perlu disesuaikan dengan sektor usaha serta karakter dan letak geografis dari masing-masing perusahaan.
3. Nilai-nilai perusahaan yang universal antara lain adalah terpercaya, adil dan jujur.

B. Etika Bisnis

1. Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha termasuk dalam berinteraksi dengan pemangku kepentingan (stakeholders) .
2. Penerapan nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis secara berkesinambungan mendukung terciptanya budaya perusahaan.
3. Setiap perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati bersama dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku.

C. Pedoman Perilaku

Fungsi Pedoman Perilaku

1. Pedoman perilaku merupakan penjabaran nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis dalam melaksanakan usaha sehingga menjadi panduan bagi organ perusahaan dan semua karyawan perusahaan;
2. Pedoman perilaku mencakup panduan tentang benturan kepentingan, pemberian dan penerimaan hadiah dan donasi, kepatuhan terhadap peraturan, kerahasiaan informasi, dan pelaporan terhadap perilaku yang tidak etis.

Benturan Kepentingan

1. Benturan kepentingan adalah keadaan dimana terdapat konflik antara kepentingan ekonomis perusahaan dan kepentingan ekonomis pribadi pemegang saham, angggota Dewan Komisaris dan Direksi, serta karyawan perusahaan;
2. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan harus senantiasa mendahulukan kepentingan ekonomis perusahaan diatas kepentingan ekonomis pribadi atau keluarga, maupun pihak lainnya;
3. Anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan atau keuntungan pribadi, keluarga dan pihak-pihak lain;
4. Dalam hal pembahasan dan pengambilan keputusan yang mengandung unsur benturan kepentingan, pihak yang bersangkutan tidak diperkenankan ikut serta;
5. Pemegang saham yang mempunyai benturan kepentingan harus mengeluarkan suaranya dalam RUPS sesuai dengan keputusan yang diambil oleh pemegang saham yang tidak mempunyai benturan kepentingan;
6. Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan yang memiliki wewenang pengambilan keputusan diharuskan setiap tahun membuat pernyataan tidak memiliki benturan kepentingan terhadap setiap keputusan yang telah dibuat olehnya dan telah melaksanakan pedoman perilaku yang ditetapkan oleh perusahaan.

Pemberian dan Penerimaan Hadiah dan Donasi

1. Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan dilarang memberikan atau menawarkan sesuatu, baik langsung ataupun tidak langsung, kepada pejabat Negara dan atau individu yang mewakili mitra bisnis, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan;
2. Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan dilarang menerima sesuatu untuk kepentingannya, baik langsung ataupun tidak langsung, dari mitra bisnis, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan;
3. Donasi oleh perusahaan ataupun pemberian suatu aset perusahaan kepada partai politik atau seorang atau lebih calon anggota badan legislatif maupun eksekutif, hanya boleh dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam batas kepatutan sebagaimana ditetapkan oleh perusahaan, donasi untuk amal dapat dibenarkan;
4. Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan diharuskan setiap tahun membuat pernyataan tidak memberikan sesuatu dan atau menerima sesuatu yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan.

Kepatuhan terhadap Peraturan

1. Organ perusahaan dan karyawan perusahaan harus melaksanakan peraturan perundang-undangan dan peraturan perusahaan;
2. Dewan Komisaris harus memastikan bahwa Direksi dan karyawan perusahaan melaksanakan peraturan perundang-undangan dan peraturan perusahaan;
3. Perusahaan harus melakukan pencatatan atas harta, utang dan modal secara benar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

Kerahasiaan Informasi

1. Anggota Dewan Komisaris dan Direksi, pemegang saham serta karyawan perusahaan harus menjaga kerahasiaan informasi perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, peraturan perusahaan dan kelaziman dalam dunia usaha;
2. Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi, pemegang saham serta karyawan perusahaan dilarang menyalahgunakan informasi yang berkaitan dengan perusahaan, termasuk tetapi tidak terbatas pada informasi rencana pengambil-alihan, penggabungan usaha dan pembelian kembali saham;
3. Setiap mantan anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan, serta pemegang saham yang telah mengalihkan sahamnya, dilarang mengungkapkan informasi yang menjadi rahasia perusahaan yang diperolehnya selama menjabat atau menjadi pemegang saham di perusahaan, kecuali informasi tersebut diperlukan untuk pemeriksaan dan penyidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, atau tidak lagi menjadi rahasia milik perusahaan.

Pelaporan terhadap pelanggaran Pedoman Perilaku

1. Dewan Komisaris berkewajiban untuk menerima dan memastikan bahwa pengaduan tentang pelanggaran terhadap etika bisnis dan pedoman perilaku perusahaan diproses secara wajar dan tepat waktu;
2. Setiap perusahaan harus menyusun peraturan yang menjamin perlindungan terhadap individu yang melaporkan terjadinya pelanggaran terhadap etika bisnis dan pedoman perilaku perusahaan. Dalam pelaksanannya, Dewan Komisaris dapat memberikan tugas kepada komite yang membidangi pengawasan implementasi GCG.

Etika Bisnis dan Etika Kerja

http://www.bosowa.co.id/content/view/24/46/lang,indonesia/

Bosowa Corporation percaya bahwa kerberadaan sebuah Perusahaan yang kuat dan bereputasi bergantung pada bagaimana Perusahaan ini menjalankan aktivitas bisnis dan aktivitas kerjanya. Sebagai prasyarat dari penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance, sejak 2007 Bosowa telah menerapkan aturan standar etika bagi semua kegiatan bisnis dan kerja kepada semua karyawan.

Pedoman perilaku Bisnis dan Kerja meliputi kebijakan sebagi berikut: Pernyataan Ketaatan terhadap Hukum dan Peraturan, Keselamatan dan Kesehatan Karyawan, Pelestarian Lingkungan, Pelayanan Masyarakat, Kerahasiaan Karyawan, Kesempatan Kerja Yang Sama, Lingkungan Kerja Yang Bebas dari Pelecehan, Perlindungan dan Pengunaan Yang Tepat Atas Aktiva Perusahaan, Pengunaan Alkohol dan Narkoba di Tempat Kerja, Pengunaan Pihak Ketiga atau Agen, Informasi Rahasia dan Harga yang Sensitif, Kejujuran dan Perilaku yang Sopan, Akurasi dan Integritas Pembukuan dan Pencatatan, Menghindari Benturan Kepentingan, Penerimaan dan Pemberian Hadiah dan Hiburan, dan Sumbangan Politis dan Keagamaan.

Seluruh Pemegang Saham, Manajemen, Staf, dan Karyawan, serta Mitra Usaha Perusahaan diharuskan mematuhi Pedoman ini, dan setiap anggota anak Perusahaan memiliki tanggung jawab pribadi untukmendukung penerapan Pedoman Perilaku Etika Bisnis dan Kerja.

Etika Bisnis atau Manajemen Resiko

http://web.bisnis.com/kolom/2id705.html

Tat kala krisis subprime mortgage mengguncang Amerika Serikat, riak gelombangnya ikut menerpa pasar keuangan dan perekonomian global. Lantas pertanyaan mengenai etika pun mengemuka. Seperti yang diungkap Kostigen, bisnis subprime mortgage dibangun di atas fondasi etika yang rapuh.

Subprime mortgage sebenarnya disediakan bagi mereka yang sebenarnya tidak layak untuk memeroleh kredit perumahan. Mereka yang meminjam melalui subprime mortgage memiliki catatan kredit yang buruk serta bersedia membayar tingkat suku bunga yang lebih tinggi.

Namun, karena menjanjikan tingkat pengembalian finansial yang tinggi, maka pemberi pinjaman berlomba-lomba menawarkan pinjamannya, tanpa memerhatikan kesulitan yang mungkin akan dihadapi oleh para debitor pada masa depan.

Akibat krisis subprime mortgage ini, banyak bank serta lembaga penyalur kredit perumahan lainnya mengalami kerugian yang cukup signifikan. Hingga menjelang akhir November 2007, jumlah kerugian yang berhubungan dengan subprime mortgage yang dialami oleh banyak bank telah mencapai lebih dari US$30 miliar.

Banyak perusahaan lain di seluruh dunia juga mengalami jumlah kerugian yang signifikan, bahkan beberapa penyalur kredit perumahan mengalami kebangkrutan. Manajemen puncak juga tak luput dari sasaran, seperti CEO Merrill Lynch dan Citigroup yang dipaksa untuk mengundurkan diri.

Kabar terakhir, akibat dari krisis subprime mortgage, Citigroup dikabarkan akan memecat 45.000 dari 320.000 orang. Ini kedua kalinya bank itu melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Pada April, PHK dilakukan terhadap 17.000 karyawan.

Beberapa tahun terakhir ini subprime mortgage menjadi market niche yang menguntungkan bagi pemberi pinjaman kredit kepemilikan rumah di AS karena menawarkan tingkat suku bunga yang lebih tinggi, dengan prediksi bahwa harga rumah akan terus mengalami kenaikan. Namun, permintaan terhadap perumahan yang menurun secara tiba-tiba mengakibatkan banyak debitor yang mengalami kesulitan dalam melunasi pembayarannya, sebuah risiko yang kemungkinan kurang diperhitungkan oleh para pemberi pinjaman.

Etika bisnis

Pelanggaran terhadap etika bisnis selalu dipicu oleh godaan terhadap keuntungan jangka pendek yang menggiurkan. Pelanggaran terhadap etika acap baru terbukti dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Sejarah telah menunjukkan bahwa ketidakpedulian perusahaan terhadap etika bisnis dapat mengakibatkan kehancuran perusahaan dalam waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan kehancuran perusahaan akibat kesalahan dalam penilaian dan kebijakan bisnis namun tetap memperhatikan etika bisnis.

Akibat buruk dari perilaku yang tidak etis bukan hanya akan menimpa perusahaan itu sendiri namun juga menimpa masyarakat secara umum. Seperti dalam kasus subprime mortgage di atas, kerugian juga menimpa banyak investor di berbagai pasar saham di dunia, akibat berkurangnya nilai aset yang mereka miliki.

Perilaku bisnis yang tidak etis akan menimbulkan berbagai dampak negatif. Selain melahirkan persepsi yang buruk di mata masyarakat, dampak negatif lainnya adalah menurunnya moral karyawan akibat beban psikologis karena bekerja pada perusahaan yang memiliki citra buruk, terpaksa dikeluarkannya biaya untuk mengatasi citra buruk yang ada, dan ketidakpercayaan publik terhadap segala tindakan yang dilakukan perusahaan di masa depan.

Yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa setiap sistem etika bisnis harus mengakui adanya keterkaitan antara aktivitas bisnis dan kehidupan di luar bisnis yang akan memengaruhi bukan hanya karyawan, namun juga teman, keluarga, dan masyarakat secara umum.

Keputusan bisnis juga merupakan bagian dari keputusan dalam kehidupan secara keseluruhan yang memiliki dampak melewati batas-batas ruang kerja. Jadi perilaku bisnis yang etis bukan hanya bagian dari norma perusahaan, tetapi juga norma masyarakat secara keseluruhan.

Manajemen risiko

Namun, tidak seperti skandal Enron dan WorldCom, yang jelas-jelas merupakan pelanggaran etika bisnis, kasus subprime mortgage barangkali masih berada di wilayah abu-abu. Benarkah karena pelanggaran etika bisnis atau manajemen risiko yang tidak berjalan dengan semestinya?

Penerapan manajemen risiko yang terintegrasi, akan dapat menangkal terjadinya krisis semacam ini. Berbagai risiko diidentifikasi, diukur, dan dikendalikan di seluruh bagian organisasi. Kemungkinan terjadinya risiko dan akibatnya terhadap bisnis merupakan dua hal mendasar untuk diidentifikasi dan diukur.

elalui pengelolaan risiko terintegrasi, setiap keputusan strategik yang diambil selalu berdasarkan atas informasi yang valid dan reliable. Dengan demikian keputusan itu diharapkan mampu mengantisipasi secara efektif kejadian di masa depan dan mengurangi ketidakpastian.

Pada galibnya, proses bermula dari analisis secara akurat baik terhadap lingkungan internal maupun eksternal perusahaan. Hasil analisis kemudian ditindaklanjuti dengan identifikasi dan klasifikasi secara jelas, spesifik, dan menyeluruh dari tiap risiko yang ada. Namun, identifikasi saja tidaklah cukup.

Banyak perusahaan dapat melakukan identifikasi risiko dengan baik sehingga tahu benar risiko apa saja yang akan dihadapi dalam aktivitas bisnisnya, tetapi salah dalam melakukan antisipasi.

Masalah Pokok Dalam Etika Bisnis

http://indosdm.com/masalah-pokok-dalam-etika-bisnis

Andaikan anda adalah seorang direktur teknik yang harus menerapkan teknologi baru. Anda tahu teknologi ini diperlukan dapat meningkatkan efisiensi industri, namun pada saat yang sama juga membuat banyak pegawai yang setia akan kehilangan pekerjaan, karena teknologi ini hanya memerlukan sedikit tenaga kerja saja. Bagaimana sikap anda? Dilema moral ini menunjukkan bahwa masalah etika juga meliputi kehidupan bisnis. Perusahaan dituntut untuk menetapkan patokan etika yang dapat diserap oleh masyarakat dalam pengambilan keputusannya. Sedangkan di pihak lain, banyak masyarakat menganggap etika itu hanya demi kepentingan perusahaan sendiri. Tantangan yang dihadapi serta kesadaran akan keterbatasan perusahaan dalam memperkirakan dan mengendalikan setiap keputusannya membuat perusahaan semakin sadar tentang tantangan etika yang harus dihadapi.

INOVASI, PERUBAHAN DAN LAPANGAN KERJA
Aspek bisnis yang paling menimbulkan pertanyaan menyangkut etika adalah inovasi dan perubahan. Sering terjadi tekanan untuk berubah membuat perusahaan atau masyarakat tidak mempunyai pilihan lain. Perusahaan harus menanam modal pada mesin dan pabrik baru yang biasanya menimbulkan masalah karena ketidakcocokan antara keahlian tenaga kerja yang dimiliki dan yang dibutuhkan oleh teknologi baru. Sedangkan perusahaan yang mencoba menolak perubahan teknologi biasanya menghadapi ancaman yang cukup besar sehingga memperkuat alasan perlunya melakukan perubahan. Keuntungan ekonomis dari inovasi dan perubahan biasanya digunakan sebagai pembenaran yang utama.
Sayangnya biaya sosial dari perubahan jarang dibayar oleh para promotor inovasi. Biaya tersebut berupa hilangnya pekerjaan, perubahan dalam masyarakat, perekonomian, dan lingkungan. Biaya-biaya ini tak mudah diukur. Tantangan sosial yang paling mendasar berasal dari masyarakat yang berdiri di luar proses. Dampak teknologi baru bukan mustahil tak dapat diprediksi. Kewaspadaan dan keterbukaan yang berkesinambungan merupakan tindakan yang penting dalam usaha perusahaan memenuhi kewajibannya.
Dampak inovasi dan perubahan terhadap tenaga kerja menimbulkan banyak masalah dibanding aspek pembangunan lainnya. Banyak pegawai menganggap inovasi mengecilkan kemampuan mereka. Hal ini mengubah kondisi pekerjaan serta sangat mengurangi kepuasan kerja. Perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk menyediakan lapangan kerja dan menciptakan tenaga kerja yang mampu bekerja dalam masa perubahan. Termasuk di dalamnya adalah
mendukung, melatih, dan mengadakan sumber daya untuk menjamin orang-orang yang belum bekerja memiliki keahlian dan dapat bersaing untuk menghadapi dan mempercepat perubahan.

PASAR DAN PEMASARAN
Monopoli adalah contoh yang paling ekstrem dari distorsi dalam pasar. Ada banyak alasan untuk melakukan konsentrasi industri, misal, meningkatkan kemampuan berkompetisi, memudahkan permodalan, hingga semboyan “yang terkuat adalah yang menang”. Penyalahgunaan kekuatan pasar melalui monopoli merupakan perhatian klasik terhadap bagaimana pasar dan pemasaran dilaksanakan. Kecenderungan untuk berkonsentrasi dan kekuatan nyata dari perusahaan raksasa harus dilihat secara hati-hati.
Banyak kritik diajukan pada aspek pemasaran, misal, penyalahgunaan kekuatan pembeli, promosi barang yang berbahaya, menyatakan nilai yang masih diragukan, atau penyalahgunaan spesifik lain, seperti iklan yang berdampak buruk bagi anak-anak. Diperlukan kelompok penekan untuk mengkritik tingkah laku perusahaan. Negara pun dapat menentukan persyaratan dan standar.

PENGURUS DAN GAJI DIREKSI
Unsur kepengurusan adalah bagian penting dari agenda kebijaksanaan perusahaan karena merupakan kewajiban yang nyata dalam bertanggungjawab terhadap barang dan dana orang lain. Perusahaan wajib melaksanakan pengurusan manajemen dengan tekun atas semua harta yang dipertanggungjawabkan pada pemberi tugas. Tugas terutama berada pada pundak direksi yang diharapkan bertindak loyal, dapat dipercaya, serta ahli dalam menjalankan tugasnya. Mereka tidak boleh menyalahgunakan posisinya. Mereka bertanggung jawab pada perusahaan juga undang-undang. Dalam hal ini auditing memegang peranan penting dalam mempertahankan stabilitas antara kebutuhan manajer untuk menjalankan tugasnya dan hak pemegang saham untuk mengetahui apa yang sedang dikerjakan para manajer. Perdebatan mengenai gaji direksi terjadi karena adanya ketidakadilan dalam proses penentuannya, ruang gerak yang dimungkinkan bagi direksi, kurang jelasnya hubungan antara kinerja organisasi dan penggajian, paket-paket tambahan tersembunyi dan kelemahan dalam pengawasan. Tampaknya gaji para direksi meningkat, sementara tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata cenderung menurun, dan nilai saham berfluktuasi. Hal ini menimbulkan kritik dan kesadaran untuk menyoroti kenaikan gaji para eksekutif senior. Informasi dan pembatasan eksternal merupakan unsur penting dalam upaya menyelesaikan penyalahgunaan yang terjadi.

TANTANGAN MULTINASIONAL
Sering terjadi, perusahaan internasional mengambil tindakan yang tak dapat diterima secara lokal. Banyak pertanyaan mendasar bagi perusahaan multinasional, seperti kemungkinan masuknya nilai moral budaya ke budaya masyarakat lain, atau kemungkinan perusahaan mengkesploitasi lubang-lubang perundang-undangan dalam sebuah negara demi kepentingan mereka. Dalam prakteknya, perusahaan internasional mempengaruhi perkembangan ekonomi sosial masyarakat suatu negara. Mereka dapat mensukseskan aspirasi negara atau justru malah membuat frustasi dengan menghambat tujuan nasional. Hal ini meningkatkan kewajiban bagi perorangan maupun industri untuk melaksanakan aturan kode etik secara internal maupun eksternal.

Etika Bisnis Farmasi

Etika Bisnis Farmasi
http://suarapembaca.detik.com/read/2008/02/15/073954/894368/471/etika-bisnis-farmasi

Jakarta - Di sebuah lorong poliklinik sebuah rumah sakit serombongan duta farmasi (medical representatives) mencegat seorang dokter untuk menjelaskan tentang obat yang dipromosikannya. Seorang duta farmasi membuka pertemuan dengan bertanya "dokter untuk kasus gangguan saluran cerna berapa obat esomeprazole sodium yang dokter resepkan untuk seorang pasien sehari?"

Si dokter berkata, "sepanjang yang saya tahu obat ini diberikan 1 kali sehari". Duta farmasi lalu berkata "kasihannya pasien dokter, sekarang bisa sampai 6 kali sehari lho dok". Si dokter sangat terkejut dan berkata "anda bisa tunjukkan artikel penelitiannya pada saya?"

"Oh itu off label (pemakaian di luar indikasi medis yang seharusnya) dok". Dokter tadi berkata, "bila itu off label tentu saya tidak mau, itu akan merugikan pasien yang saya rawat".

Pulang dari praktek di malam hari dokter tadi mampir ke sebuah warnet dan menemukan bahwa esomeprazole sodium digunakan dengan dosis 1 kali sehari menurut situs FDA (balai POM di Amerika Serikat) dan MIMS. Kedua situs tersebut merupakan situs yang sangat terpercaya untuk informasi obat, dan tentu memiliki akuntabilitas yang jauh lebih baik daripada keterangan lisan sang duta farmasi. Pertanyaan menarik yang muncul adalah kenapa duta farmasi "nekat" memberikan informasi demikian.

Informasi yang Benar
Dokter yang bertugas di rumah sakit atau puskesmas pada umumnya menggunakan proses abdikasi (mengikuti kata dokter senior atau ilmu yang diperoleh di saat pendidikan) dan induksi (berdasar pengalaman klinis) dalam pengambilan keputusan klinis.

Proses abdikasi tentu saja tidak boleh terus menerus dipakai karena perkembangan ilmu kedokteran yang sangat cepat. Sebuah obat yang baru diluncurkan dapat saja kemudian ditarik seteleh beberapa waktu karena terbukti berbahaya bagi pasien. Pada kondisi kerja yang sibuk, informasi dari para duta farmasi tentu saja dijadikan salah satu sumber informasi.

Informasi yang diberikan oleh para duta farmasi seringkali dalam bentuk lisan atau leaflet yang berisi informasi produk. Cukup jarang para duta farmasi memberikan artikel ilmiah yang terpercaya (diterbitkan oleh jurnal ilmiah kedokteran yang bergengsi). Bila pun diberikan artikel tentu pula tidak semua dokter mau dan sempat membacanya.

Meminta para dokter untuk secara aktif mencari informasi di internet tentu pula tidak mudah. Kesibukan dan keterbatasan teknologi tentu bisa dijadikan alasan.

Informasi dari para duta farmasi yang diberikan secara lisan maupun dalam bentuk leaflet tentu saja terancam bias kepentingan. Sama seperti slogan "semua kecap adalah nomor satu", maka tentu saja ada upaya untuk mempromosikan produknya sebagai obat yang paling baik.

Tidak jarang pula nama dokter senior atau dokter yang memiliki pasien yang banyak dicatut. Sudah selayaknyalah informasi yang diberikan pada para dokter mengacu pada artikel ilmiah yang asli. Sebuah artikel ilmiah tentu merupakan sumber yang dapat terpercaya. Sebuah publikasi ilmiah tentu akan disunting oleh tim redaksi jurnal kedokteran yang terpercaya.

Di dalam istilah Evidence Based Medicine (kedokteran berbasis bukti), maka informasi yang paling dapat dipercaya adalah informasi yang berasal dari penelitian yang dilakukan dengan kaidah ilmiah yang baik. Informasi yang tidak benar dan secara "mentah-mentah" diterima oleh dokter tentu saja memiliki dampak yang kurang baik.

Dampak pertama adalah munculnya efek samping yang merugikan pasien. Sebuah obat bagaikan pisau yang bermata dua. Di satu sisi obat memiliki efek terapetik yang menyembuhkan. Namun, di sisi lain obat memiliki efek samping yang merugikan. Pemakaian obat yang berlebih (baik dosis maupun lama pemakaian) tentu akan memunculkan efek samping yang merugikan pasien.

Dampak kedua yang muncul adalah peningkatan biaya pengobatan yang harus dibayar pasien. Bayangkan bila dokter di awal kisah meresepkan obat sampai 6 kali sehari, maka pasien akan membayar 6 kali lipat dari yang seharusnya.

Etika Promosi
Promosi obat merupakan hal yang sangat sah. Namun, tentu saja harus didukung oleh bukti ilmiah yang baik. Penelitian yang dilakukan dengan kaidah-kaidah ilmiah yang baik tentu akan lebih dipercaya. Pada saat promosi sebuah produk farmasi maka seharusnya seorang duta farmasi memberikan informasi yang beanr.

Sudah sepatutnya bahwa keinginan untuk memperoleh bonus dan omset yang sebesar-besarnya tidak dijadikan sebagai dasar pemberian informasi. Tanggung jawab tentu saja tidak semata-mata ditanggung oleh para duta farmasi. Pada umumnya ada proses pelatihan yang sistematis sebelum duta farmasi dipercaya untuk mempromosikan obat. Proses ini tentu pula harus
dibenahi.

Para dokter tentu juga harus bersikap bijak dan kritis. Informasi yang diberikan oleh para duta farmasi (medical representatives) harus ditelaah secara kritis. Para dokter seyogyanyalah mengacu pada sumber-sumber informasi yang lebih dapat dipertanggunjawabkan.

Para dokter tentu harus mau terus memperbaharui diri dengan membaca artikel kedokteran terbaru, menghadiri kongres-kongres perhimpunan dokter, dan mengikuti guideline-guideline (standar pelayanan medik) yang terbaik.

Kongres-kongres perhimpunan pun belum tentu bebas dari kepentingan industri farmasi. Dalam editorial terbaru di British Medical Journal, Godle (2008) menjelaskan bagaimana para pembicara (terutama para pakar dari perguruan tinggi) tidak bisa begitu saja bebas dari pengaruh industri farmasi.

Pasti ada iming-iming tertentu dari perusahaan farmasi untuk lebih menonjolkan produk obatnya dibanding produk obat lain. Seorang rekan dalam sebuah kongres perhimpunan dokter pernah berkata "kita ini bingung, untuk penyakit yang sama, beberapa obat diklaim sebagai yang terbaik, bukankah seharusnya hanya satu yang terbaik?"

Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar farmakalogi belum lama ini, Prof dr. Iwan Dwiprahasto, MSc, PhD mengingatkan bahwa sudah selayaknya para dokter terus menerus memperbaharui kelimuannya melalui sumber-sumber yang dapat dipercaya. Profesi yang luhur ini tidaklah sepatutnya dicemari oleh kepentingan bisnis industri farmasi. Hubungan dokter dan industri farmasi yang bersifat seimbang dan lebih mengedepankan sisi ilmiah tentu saja diharapkan terus membaik.

Bonus berupa uang atau jalan-jalan ditengarai diterima oleh sejumlah sangat kecil oknum untuk suatu target perespan tertentu. Suatu hal yang sangat sulit untuk dibuktikan. Hal ini akan merugikan pasien yang harus membayar lebih untuk obat yang seharusnya tidak ia terima. Upaya perbaikan terus menerus harus dilakukan di masa mendatang.

Seorang guru penulis pernah mengingatkan penulis "kita (dokter) harus selalu memberikan obat yang kita pahami benar, keadaan penyakit yang kita tahu benar, pada pasien yang sebagian besar tidak tahu apa-apa". Peresepan rasional bagi pasien menjadi tanggung jawab dokter. Pasien telah menyerahkan kepercayaan sepenuhnya kepada dokter. Sebuah kepercayaan tidaklah seharusnya dicemari oleh kepentingan bisnis industri.

Etika Bisnis di Pasar Tradisional

Etika bisnis di “pasar tradisional”
Mimbar Jumat - Artikel Jumat

MUSTAFA KAMAL ROKAN

Suatu hari saya berkeinginan membeli sepatu di pasar “emperan sepatu” yang berada di pinggir jalan raya. Saat ini, untuk membeli sepatu mudah sekali, sebab penjual sepatu yang terletak jalan utama di Medan “berjejeran” sepatu dengan segala merek dan jenisnya.


Dengan memilah dan memilih sepatu yang beragam itu, akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada merek tertentu. Seperti pembeli lainnya, kalimat pertama yang terlontar dari mulut saya adalah “kalau yang ini berapa? Seketika saja penjual menyebutkan harga sepatu yang saya pilih itu,“ yang ini harganya Rp. 125.000 rupiah”, namun diiringi kalimat “tapi bisa kurang kok pak”.

Tak ayal lagi, sayapun berfikir keras untuk menebak dan menawar dengan harga yang pas sekaligus wajar. Harga yang pas dan wajar adalah harga yang jangan “kena tipu sekali” sehingga rugi, dan juga “tidak kerendahan sekali” sehingga menjadi malu.

Saya pun bingung, sebab tak terbiasa berbelanja di tempat itu. Akhirnya, saya mengajak penjual sepatu itu untuk menyebutkan berapa harga pokok sepatu itu, dan berapa ia mengambil untung. Dengan serta merta, si penjual mengatakan “wah mana bisa, sekarang sulit orang percaya dengan sistem seperti itu”.

Penulis coba meyakinkan si penjual, “bilang saja berapa harga sebenarnya dan mengambil untung berapa, pasti saya bayar, yang penting jujur”. Karena si penjual berpakaian jilbab, saya sampaikan “begitulah Rasulullah berdagang dahulu.” Akhirnya, dengan setengah berbisik (karena takut terdengar pemilik toko dan pembeli lainnya) si penjual pun menyebutkan angka tertentu dan saya pun membayar sepatu itu.

Kondisi “tawar menawar” seperti ini adalah hal yang hampir umum terjadi di pasar terutama pada pasar tradisional. Kondisi seperti ini jelas tak mengenakkan, baik bagi si penjual dan juga si pembeli. Mengapa? Bagi si penjual, ia akan berusaha mengelabui si pembeli dan tak jarang harus membumbui kata pemanis yang penuh kebohongan dalam rangka meyakinkan si pembeli.

Sering kali harga satu jenis barang dinaikkan dengan berkali lipat, sehingga sulit menebak berapa harga aslinya. Sedangkan bagi si pembeli selalu merasa tidak nyaman, jika ia tidak mengetahui harga pasar sebuah barang maka ia akan menawar dan membeli barang dengan sangat mahal, tak jarang hingga tiga atau empat kali lipat dari harga pokok. Intinya harus pandai-pandai menawar yang diselingi dengan saling curiga.

Fenomena ini juga menimbulkan berbagai intrik baik dari si penjual maupun pembeli. Bagi si penjual, bahasa yang digunakan selalu meyakinkan yang kadang dibumbui

dengan kebohongan, misalnya “harga pokokpun belum kembali”, “wah, itu jauh dari harga” dan seterusnya, yang kesemuanya dalam rangka meyakinkan si pembeli. Sedangkan bagi si pembeli, bahasa yang muncul terkadang merayu atau juga memaksa “ngemop” dan tak jarang dengan “pura-pura pergi”, jika si penjual memanggilnya lagi maka berarti harga masih bisa ditawar, jika tidak, berarti memang benar harga barang tersebut demikian, sehingga tidak dapat ditawar lagi.

Demikian seterusnya, sebuah kondisi yang tidak menyenangkan. Nah, bagaimana dengan etika berbisnis Islam?

Etika bisnis dalam Islam
Islam telah mensyariatkan etika yang rapi dan apiks dalam aktivitas bisnis. Etika bisnis akan membuat masing-masing pihak merasa nyaman dan tenang, bukan saling mencurigai. Etika bisnis dalam Islam telah dituangkan dalam hukum bisnis Islam yang biasa disebut dengan muamalah. Aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia mempunyai aturan-aturan tertentu, sebut saja aturan dalam hal jual beli (ba’iy), pinjam meminjam (ariyah), utang mengutang, berinvestasi (mudharabah), kerjasama bisnis (musyarakah), menggunakan jaminan (rahn), pengalihan utang (hiwalah) dan masih banyak jenis transaksi lainnya.

Demikian juga perbuatan yang dilarangan dalam bisnis seperti praktik riba dengan segala macam bentuknya, penipuan, ketidakjelasan (gharar), gambling (maysir) dan juga monopoli (ihtikar). Dalam hal tawar menawar jual beli, betapa indahnya jika dibungkus dengan etika bisnis. Jika seorang pedagang menjelaskan harga pokok sebuah sepatu dengan harga tertentu dan mengambil keuntungan dengan bilangan tertentu dengan mempertimbangkan biaya transportasi, sewa tempat dan seterusnya, maka tidaklah mungkin pembeli merasa keberatan dengan harga yang ditawarkan.

Dengan demikian, tidak terjadi spekulasi antara penjual dengan pembeli dalam tawar menawar, lebih dari itu terjadi hubungan persaudaraan yang indah antara penjual dan pembeli, sebab keduanya saling membutuhkan dan merasa terbantu. Bukan sebaliknya, terjadi kecurigaan dan bahkan tak jarang penipuan dalam rangka mencari keuntungan dan kesempatan.

Betapa indahnya cara Rasulullah Saw. menjajakan barang dagangannya dengan memilah jenis barang berdasarkan kualitas dengan menetapkan harga sesuai dengan kualitas barang. Tidak ada kualitas dan harga barang yang ditutupi Rasulullah Saw. Semuanya berdasarkan harga yang wajar sesuai dengan kualitas barang yang biasa kita sebut dengan product liability.

Rasulullah selalu menunjukkan dan menjelaskan kualitas bahkan cacat sebuah barang yang disesuaikan dengan harga. Maka, tak heran para pembeli merasa senang dan nyaman, tak hanya itu barang dagangannya juga laku keras dan beliau meraup untung yang berlipat dengan etika dagang yang agung.

Aktivitas bisnis harus berorientasi ibadah
Semua jenis transaksi dalam bisnis hendaklah didasari oleh prinsip-prinsip yang menjadi dasar dan patokan. Salah satu prinsip bisnis Islam adalah prinsip ilahiyah (prinsip ketuhanan). Prinsip ini sangat penting dalam mewarnai prilaku pelaku bisnis. Dalam Islam, semua aktivitas termasuk bisnis yang dilakukan bukan hanya pada dimensi duniawi yang berarti berkaitan dengan untung rugi saja.

Namun, lebih dari itu, hubungan bisnis dalam Islam adalah manifestasi dari ibadah kepada Allah Swt. Sudah menjadi adagium umum di masyarakat, jika tidak bisa menipu atau atau bermain “kotor” akan tersingkir dari dunia bisnis. Dengan kata lain, seorang pebisnis tidak bisa “lepas” dari prilaku kotor, tipu muslihat dan semacamnya, jika jujur maka akan terbujur.

Paradigma seperti ini tampaknya sudah menjadi “kesepakatan” masyarakat kita. Memang harus diakui karena bisnis berkaitan dengan uang maka peluang dan godaan untuk melakukan penipuan dan kebohongan sangat terbuka lebar. Karenanya, Rasulullah bersabda “pedagang yang jujur akan bersamaku di surga”.

Dalam hal ini, telah terjadi pemilahan orientasi seorang pedagang dengan membedakan antara kehidupan dunia dengan akhirat. Kehidupan dunia harus dikejar dengan cara-cara keduniaan, sedangkan kehidupan akhirat diperoleh dengan aktivitas ibadah dalam arti sempit (shalat, puasa, zakat dan haji).

Padahal, Islam tidak memandang aktivitas bisnis hanya dalam tataran kehidupan dunia an sich, sebab semua aktivitas dapat bernilai ibadah jika dilandasi dengan aturan-aturan yang telah disyariatkan Allah. Dalam dimensi inilah konsep keseimbangan kehidupan manusia terjadi, yakni menempatkan aktivitas keduniaan dan keakhiratan dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Etika bisnis adalah tuntutan yang harus dilaksanakan oleh pelaku bisnis dalam menegakkan konsep keseimbangan ekonomi. Jika saja pengambilan keuntungan berlipat-lipat adalah sebuah kesepakatan pelaku ekonomi, bukankah hal ini menjadikan supply-demand tidak seimbang, pasar bisa terdistorsi dan seterusnya.

Nah, betapa indahnya jika sistem bisnis yang kita lakukan dibingkai dengan nilai etika yang tinggi.Etika itu akan membuang jauh kerugian dan ketidaknyamanan antara pelaku bisnis dan masyarakat. Lebih dari itu, bisnis yang berdasarkan etika akan menjadikan sistem perekonomian akan berjalan secara seimbang. Wallahualam.

Penulis adalah Dosen hukum Bisnis Fak. Syariah IAIN SU dan STIH Graha Kirana Medan.

identifikasi faktor penentu keputusan konsumen dalam memilih jasa perbankan bank syariah vs bank konvensional

BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan peran perbankan syariah di Indonesia tidak terlepas dari system perbankan di Indonesia secara umum. Sistem perbankan syariah juga diatur dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 dimana Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Peran bank syariah dalam memacu pertumbuhan perekonomian daerah semakin strategis dalam rangka mewujudkan struktur perekonomian yang semakin berimbang. Dukungan terhadap pengembangan perbankan syariah juga diperlihatkan dengan adanya “dual banking system”, dimana bank konvensional diperkenankan untuk membuka unit usaha syariah. Pemahaman dan sosialisasi terhadap masyarakat tentang produk dan system perbankan syariah di Indonesia masih sangat terbatas. Upaya pengembangan bank syariah tidak cukup hanya berlandaskan kepada aspek-aspek legal dan peraturan perundang-undangan tetapi juga harus berorientasi kepada pasar atau masyarakat sebagai pengguna jasa (konsumen) lembaga perbankan. Keberadaan bank (konvesional dan syariah) secara umum memiliki fungsi strategis sebagai lembaga intermediasi dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, namun karakteristik dari kedua tipe bank (konvensional dan syariah) dapat mempengaruhi perilaku calon nasabah dalam menentukan preferensi mereka terhadap pemilihan antara kedua tipe bank tersebut. Lebih lanjut, perilaku nasabah terhadap produk perbankan (bank konvensional dan bank syariah) dapat dipengaruhi oleh sikap dan persepsi masyarakat terhadap karakteristik perbankan itu sendiri.
Sumatera Barat sebagai salah satu propinsi di Indonesia, yang didominasi oleh suku Minangkabau, memiliki keunikan tersendiri terhadap perilaku mengkonsumsi suatu produk. Struktur dan persepsi masyarakat Sumatera Barat yang sudah terbangun dengan mayoritas masyarakatnya yang religius sangat memungkinkan terdapatnya berbagai persepsi yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memilih bank. Namun demikian, faktor keagamaan atau persepsi yang hanya didasari oleh alas an keagamaan saja belum tentu mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap keputusan dalam menggunakan suatu jenis jasa perbankan.
BAB II
PEMBAHASAN

Pertimbangan nasabah di dalam memilih jasa bank konvensional. Hasil jawaban responden di atas memberikan gambaran bahwa pertimbangan paling dominan dalam pemilihan bank konvensional adalah faktor prosedur (cepat dan mudah), berhubungan dengan bank, serta kedekatan lokasi (rumah dan/atau tempat kerja) responden dengan kantor bank. Pertimbangan di atas lebih dipilih dibandingkan dengan factor reputasi dan image bank, jumlah kantor bank/cabang yang tersedia untuk melayani kebutuhan mereka, jaminan atas uang yang ditempatkan, persyaratan yang diminta oleh bank serta ketersediaan teknologi perbankan. Preferensi konsumen dalam memilih jasa perbankan konvensional lebih ditentukan oleh factor yang tidak berhubungan dengan produk (non product), seperti; prosedur yang lebih cepat dan mudah, kedekatan lokasi bank, reputasi bank serta jumlah kantor/cabang sebuah bank. Pertimbangan responden di dalam memilih jasa bank syariah, pertimbangan paling dominant yaitu: faktor keyakinan bahwa bunga bank bertentangan dengan agama, diikuti oleh keramahan petugas serta persepsi bahwa berurusan dengan bank syariah Varian produk yang ditawarkan serta berbagai hal yang berhubungan dengan produk (seperti; variasi, biaya administrasi serta harapan keuntungan) bukan merupakan pertimbangan utama di dalam memilih bank syariah. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa nasabah bank syariah cenderung melihat produk bank bukanlah sesuatu yang ”unik”, tetapi menyerupai produk komoditas lainnya seperti yang ditawarkan oleh bank konvensional. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian di atas, bahwa nasabah cenderung memilih faktor lain yang tidak berhubungan langsung dengan produk yang ditawarkan bank sebagai dasar pertimbangan mereka di dalam memilih jasa perbankan. didasarkan atas persepsi bahwa factor bunga bertentangan dengan agama serta bentuk keyakinan nasabah.




Faktor lima dimensi penentu perilaku nasabah dalam memilih bank syariah dan bank konvensional, seperti terlihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1. Dimensi Faktor Penentu Perilaku Konsumen
Bank Syariah Faktor Bank Konvensional Faktor
Persepsi
(belief/attitudes) Internal Motivasi (Rasional) Internal
Personal Selling Eksternal Biaya dan Manfaat Internal
Keluarga Eksternal Keluarga Eksternal
Biaya dan Manfaat Internal Promosi Eksternal
Agama/keyakinan Internal Gaya Hidup Internal
Sumber: output spss

Tabel di atas memberikan indikasi bahwa, faktor internal lebih dominan disbanding faktor eksternal bagi konsumen di dalam memilih jenis bank (konvensional versus syariah). Hal ini dapat diartikan bahwa faktor-faktor tersebut mengindikasikan bahwa perilaku konsumen dalam memutuskan untuk menggunakan suatu produk perbankan lebih didominasi oleh internal locus of control (pengendalian dari dalam). Internal faktor tersebut muncul dari kesadaran (awareness) konsumen terhadap produk yang dikomunikasikan dan pada tingkat yang lebih tinggi, dan selanjutnya awareness tersebut akan memperkuat keyakinan (belief) konsumen. Namun demikian, faktor internal yang mempengaruhi konsumen untuk memilih bank syariah versus bank konvensional relatif berbeda. Pada konsumen yang memilih bank syariah, faktor internal yang sangat mempengaruhi keputusan konsumen untuk memilih bank tersebut adalah; (1)
persepsi, (2) biaya dan manfaat, dan (3) agama. Sementara itu, faktor internal yang mempengaruhi keputusan memilih bank konvensional terdiri dari; (1) motivasi rasional, (2) biaya dan manfaat, dan (3) gaya hidup.
Dari kelima faktor di atas, tidak terdapat satupun faktor atau variabel yang berhubungan dengan produk perbankan. Hal ini memberikan implikasi bahwa konsumen cenderung untuk mempunyai persepsi bahwa produk perbankan yang ditawarkan oleh kedua jenis bank relative sama. Keunikan produk perbankan syariah yang selama ini dipromosikan kepada masyarakat tidak cukup untuk mempengaruhi persepsi mereka terhadap keunikan produk perbankan syariah dibandingkan dengan bank konvensional. Dengan kata lain, bank syariah seharusya mampu membangun image di mata konsumen dengan keunikan yang dimilikinya, yang pada akhirnya menciptakan loyalitas konsumen.
Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa walaupun terdapat persepsi bahwa bunga bank bertentangan dengan keyakinan/agama, namun hal tersebut bukan merupakan alasan utama bagi responden di dalam memilih jenis bank. Konsumen dan calon konsumen perbankan relatif mempunyai argumentasi rasional, termasuk motif ekonomis di dalam menentukan pilihannya. Hasil penelitian memberikan implikasi bahwa sekalipun terdapat berbagai aspek nonekonomis yang sangat mempengaruhi interaksi masyarakat terhadap dunia perbankan, namun dalam keputusan memilih jasa perbankan dengan pertimbangan rasional (rational choice) tetap sangat menentukan. Dalam kaitan ini dapat diberikan argumentasi bahwa responden cenderung menilai produk perbankan yang ditawarkan sebagai “produk komoditas”, dimana konsumen memilih produk perbankan berdasarkan fungsi produk, atau konsumen memiliki persepsi bahwa karakteristik bank syariah dan konvensional tidak relative berbeda. Untuk mempertegas diferensiasi produk antara bank syariah dan konvensional, perlu sosialisasi dan komunikasi below the line, sehingga masyarakat yakin terdapat keunikan pada produk bank syariah.
Komunikasi dengan cara konvensional (misal above the line) hanya mampu menciptakan awareness masyarakat terhadap keberadaan bank syariah, tetapi belum mampu untuk merubah keyakinan (beliefs) masyarakat terhadap bunga bank. Pendekatan personal-selling dengan mengandalkan personel yang memiliki penguasaan memadai terhadap productknowledge bank syariah. Untuk itu Bank Indonesia sebagai regulator diharapkan dapat menetapkan standardisasi kompetensi terhadap product-knowledge bagi petugas bank syariah. Di samping itu, konsep service excellence yang telah diadopsi dan diterapkan oleh perbankan selayaknya mendapat fokus perhatian yang lebih besar. Namun, Bank Indonesia selaku otoritas moneter disarankan untuk mengeluarkan kebijakan yang berimbang dalam hal ini, agar tidak menganggu keseimbangan pasar perbankan konvensional yang ada. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia dapat mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan karakteristik produk bank syariah dalam kerangka etika yang jelas; berupaya untuk menumbuhkembangkan bank syariah sejalan (align) dengan kebijakan pengembangan untuk bank konvensional. Prospek perbankan syariah di Sumatera Barat ke depannnya masih relatif besar untuk dikembangkan (61% responden bank konvensional berminat menjadi nasabah bank syariah). Ketidakjelasan informasi tentang bank syariah, jaringan kantor yang terbatas, dan tidak tahu tentang produk bank syariah merupakan alasan utama kenapa mereka belum berhubungan dengan bank syariah. Tidak semua nasabah bank syariah di Sumatera Barat termasuk katagori segmen loyalist (nasabah yang memilih bank syariah semata-mata karena alas an agama).
Berkaitan dengan tipe segmen tersebut, maka upaya untuk meningkatkan pertumbuhan bank syariah dapat dilakukan melalui peningkatan pemahaman dan membangun image konsumen perbankan syariah agar mereka tidak ragu untuk berpartisipasi menjadi nasabah dan menjamin keberadaan ”dual banking” yang sesuai dengan prinsip syariah. Mayoritas masyarakat Sumatera Barat yang beragama Islam memberikan peluang yang cukup besar untuk pertumbuhan bank syariah untuk menggarap segmen loyalist, aktif dalam meningkatkan awareness nasabah potensial dengan pendekatan promosi yang lebih informative (bukan imaginer), misalnya; seminar, brosur dan phamflet. Perbankan syariah sudah tidak saatnya lagi mengandalkan ”spiritual market” yang hanya diisi oleh segmen syariah loyalist, yaitu mereka yang memilih bank semata-mata hanya karena alasan agama. Kecenderungan dimasa yang akan datang diperkirakan bahwa segmen yang digarap oleh bank syariah mulai bergeser dari syariah loyalist ke floating market. Hal ini disebabkan karena konsumen semakin rasional, dengan tetap mengutamakan kualitas pelayanan serta benefit lainnya yang ditawarkan daripada hanya dengan melakukan pendekatan emosional. Untuk mengantisipasi kecenderungan tersebut perlu adanya kesiapan infrastruktur dan sumberdaya yang dimiliki oleh bank syariah saat ini agar mampu berkembang seperti layaknya bank konvensional.







BAB III
KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa faktor internal yang sangat mempengaruhi keputusan konsumen untuk memilih bank tersebut adalah; (1) persepsi, (2) biaya dan manfaat, dan (3) agama. Sementara itu, faktor internal yang mempengaruhi keputusan memilih bank konvensional terdiri dari; (1) motivasi rasional, (2) biaya dan manfaat, dan (3) gaya hidup.
Untuk mempertegas diferensiasi produk antara bank syariah dan konvensional, perlu sosialisasi dan komunikasi sehingga masyarakat yakin terdapat keunikan pada produk bank syariah. Pendekatan personal-selling dengan mengandalkan personel yang memiliki penguasaan memadai terhadap productknowledge bank syariah. Untuk itu Bank Indonesia sebagai regulator diharapkan dapat menetapkan standardisasi kompetensi terhadap product-knowledge bagi petugas bank syariah. Di samping itu, konsep service excellence yang telah diadopsi dan diterapkan oleh perbankan selayaknya mendapat fokus perhatian yang lebih besar. upaya untuk meningkatkan pertumbuhan bank syariah dapat dilakukan melalui peningkatan pemahaman dan membangun image konsumen perbankan syariah agar mereka tidak ragu untuk berpartisipasi menjadi nasabah dan menjamin keberadaan ”dual banking” yang sesuai dengan prinsip syariah.

Sabtu, 12 Desember 2009

Etika Bisnis, Membangun Kepedulian dalam Lingkungan Perusahaan dan Masyarakat

Etika Bisnis, Membangun Kepedulian dalam Lingkungan Perusahaan dan Masyarakat
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=14239

Saat ini, mungkin ada sebagian masyarakat yang belum mengenali apa itu etika dalam berbisnis. Bisa jadi masyarakat beranggapan bahwa berbisnis tidak perlu menggunakan etika, karena urusan etika hanya berlaku di masyarakat yang memiliki kultur budaya yang kuat. Ataupun etika hanya menjadi wilayah pribadi seseorang. Tetapi pada kenyataannya etika tetap saja masih berlaku dan banyak diterapkan di masyarakat itu sendiri. Bagaimana dengan di lingkungan perusahaan? Perusahaan juga sebuah organisasi yang memiliki struktur yang cukup jelas dalam pengelolaannya. Ada banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan terbukanya penyelewengan sangat mungkin terjadi. Baik dalam tataran manajemen ataupun personal dalam setiap team maupun hubungan perusahaan dengan lingkungan sekitar. Untuk itu etika ternyata diperlukan sebagai kontrol akan kebijakan, demi kepentingan perusahaan itu sendiri.

Namun apakah etika itu sendiri dapat teraplikasi dan dirasakan oleh pihak-pihak yang wajib mendapatkannya? Pada prakteknya banyak perusahaan yang mengesampingkan etika demi tercapainya keuntungan yang berlipat ganda. Lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga menggeser prioritas perusahaan dalam membangun kepedulian di masyarakat. Kecenderungan itu memunculkan manipulasi dan penyelewengan untuk lebih mengarah pada tercapainya kepentingan perusahaan. Praktek penyimpangan ini terjadi tidak hanya di perusahaan di Indonesia, namun terjadi pula kasus-kasus penting di luar negeri.

Contoh kasus di dalam negeri, kita diingatkan oleh Freeport dengan perusakan lingkungan. Masyarakat dengan mata kepala sendiri menyaksikan tanah airnya dikeruk habis. Sehingga dampak dari hadirnya Freeport mendekatkan masyarakat dari keterbelakangan. Kalaupun masyarakat menerima ganti rugi, itu hanyalah peredam sesaat, karena yang terjadi justru masyarakat tidak banyak belajar dari usahanya sendiri. Masyarakat terlena dengan ganti rugi tiap tahunnya, padahal dampak jangka panjangnya sungguh luar biasa. Masyarakat akan semakin terpuruk dari segi mental dan kebudayaannya akan terkikis. Juga dalam beberapa tahun ini, tentunya kita masih disegarkan oleh kasus lumpur Lapindo. Kita tahu berapa hektar tanah yang terendam lumpur, sehingga membuat masyarakat harus meninggalkan rumahnya. Mungkin bisa jadi ada unsur kesengajaan di dalamnya. Demi peningkatan profit yang tinggi, ada hal yang perlu dikorbankan, tentunya tidak lain masyarakat itu sendiri. Kita juga masih ingat akan kasus Teluk Buyat yang menyebabkan tercemarnya lingkungan tersebut. Yang cukup menghebohkan mungkin kasus Marsinah, seorang buruh yang memperjuangkan hak-haknya, tetapi mengalami peristiwa tragis yang membuat nyawanya melayang.

Semua itu terjadi karena tidak diterapkannya etika dalam berbisnis. Di dalam etika itu sendiri terkandung penghargaan, penghormatan, tanggungjawab moral dan sosial terhadap manusia dan alam. Kalau kita melihat lebih jauh tentunya ada dua kepentingan, baik dari perusahaan dan masyarakat yang perlu diselaraskan. Di dalamnya terkandung juga hak dan kewajiban yang harus terpenuhi. Coba mari kita renungkan bersama, bukankah tidak diterapkannya etika dalam berbisnis justru akan menjadi bumerang bagi perusahaan tersebut? Mungkin akan banyak biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan kasus serta citra perusahaan di masyarakat luas semakin miring. Hal ini justru akan sangat merugikan perusahaan itu sendiri.

Belum lagi kasus yang terjadi di luar negeri. Sebagai contoh adalah kasus asuransi Prudential di Amerika. Belum lagi skandal Enron ,Tycon, Worldcom dsb. Banyaknya kasus yang terjadi membuat masyarakat berpikir dan mulai menerapkan etika dalam berbisnis. Apalagi sekarang masyarakat mulai membicarakan CSR (Corporate Social Responsibility). Apa itu? Dalam artikel yang ditulis oleh Chairil Siregar disebutkan CSR merupakan program yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan undang-undang pasal 74 Perseroan Terbatas. Tentunya dengan adanya undang-undang ini, industri maupun korporasi wajib melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan beban yang memberatkan. Salah satu contoh yaitu komitmen Goodyear dalam membangun masyarakat madani, ekonomi, pendidikan, kesehatan jasmani, juga kesehatan sosial. Kepedulian ini sebagai wujud nyata peran serta perusahaan di tengah masyarakat. Perlu diingat pembangunan suatu negara bukan hanya tanggungjawab pemerintah dan industri saja tetapi setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan kualitas hidup masyarakat.

Arti Penting Etika Bisnis

ARTI PENTING ETIKA BISNIS
http://unhalu.ac.id/staff/nitri/?p=48

Perilaku Etis penting diperlukan untuk sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif baik lingkup makro ataupun mikro.

1. Perspektif Makro

Pertumbuhan suatu negara tergantung pada efektivitas dan efisiensi sistem pasar dalam mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa kondisi yang diperlukan supaya sistem dapat bekerja secara efektif dan efisien adalah:

* Adanya hak memiliki dan mengelola properti swasta
* Adanya kebebasan memilih dalam perdagangan barang dan jasa
* Adanya ketersediaan informasi yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa
Jika salah satu subsistem dalam sistem pasar ini melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan mengambat pertumbuhan sistem secara makro. Contoh-contoh perilaku tidak etis pada perspektif makro adalah:

a. Penyogokan atau suap: Yaitu memberikan sesuatu yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seorang pejabat dalam melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk memanipulasi seseorang dengan membeli pengaruh. ‘Pembelian’ itu dapat dilakukan baik dengan membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun ‘pembayaran kembali’ setelah deal terlaksana.

b. Tindakan pemaksaan: Merupakan tekanan, pembatasan, dorongan dengan paksa menggunakan jabatan atau ancaman untuk memaksakan kehendak. Tindakan pemaksaan ini misalnya berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan jabatan, pemecatan, atau penolakan terhadap seseorang.

c. Informasi palsu (Deceptive information): Yaitu memberikan informasi yang tidak jujur untuk mengelabuhi atau menutupi sesuatu yang tidak benar.

d. Pencurian dan penggelapan: Tidak hanya di bidang politik dan militer, di dalam bidang bisnis pun sudah ada kegiatan spionase. Fei Ye, (37 th), and Ming Zhong, (36 th) ditangkap polisi Amerika dengan tuduhan telah mencuri rancangan microchip dan rahasia perusahaan dari perusahaan komputer Sun Microsystems Inc., NEC Electronics Corp., Transmeta Corp. dan Trident Microsystems Inc. Mereka ditangkap di airport San Fransisco saat akan terbang ke negeri Cina.

e. Perlakukan diskriminatif, yaitu perlakuan tidak adil atau penolakan terhadap orang-orang tertentu yang disebabkan oleh ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, atau agama.

2. Perspektif Mikro

Dalam lingkup mikro perilaku etis identik dengan kepercayaan atau trust. Dalam lingkup mikro terdapat rantai relasi dimana pemasok (supplier), perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan dalam kegiatan bisnis yang saling mempengaruhi. Tiap mata rantai di dalam relasi harus selalu menjaga etika sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik.

Bagaimana perilaku etis dapat berperan dalam menciptakan keberlangsungan usaha? Sebagian besar perusahaan berusaha menciptakan adanya repetitive purchase (pembelian berulang) yang dilakukan konsumen. Hal ini hanya dapat terjadi jika konsumen merasakan kepuasan dalam mengkonsumsi produk tersebut. Perilaku tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan dapat mencederai kepuasaan ini.

Dalam kaitannya dengan dalam relasi bisnis, setiap perusahaan ingin bekerja sama dengan perusahaan yang dapat dipercaya. Kepercayaan ini ada di dalam reputasi perusahaan yang tidak diciptakan dalam sekejap. Perilaku etis merupakan salah satu komponen utama dalam membangun reputasi perusahaan.

Dalam hubungan dengan pihak perbankan, banyak perbankan yang memasukkan komponen etika bisnis dalam mempertimbangkan pengesahan permohonan kredit. Pihak perbankan lebih yakin dalam mengabulkan pinjaman terhadap perusahaan yang telah melaksanakan prinsip-prinsip Corporate Social Responsibility.

Dalam skala global, telah merebak kesadaran baru bahwa selain memiliki hak-hak sebagai konsumen, mereka juga memiliki kewajiban. Mereka menyadari bahwa perilaku konsumsi mereka dapat berpengaruh terhadap ketidak-adilan dan kerusakan lingkungan. Itu sebabnya, lapisan masyarakat yang terdidik mulai selektif di dalam mengkonsumsi suatu barang/jasa. Mereka tidak akan membeli barang yang diproduksi oleh perusahaan yang membalak hutan. Mereka menolak produk dari pabrik yang tidak memberi upah yang layak kepada buruhnya.

Sedangkan secara internal, penerapan etika juga dapat meningkatkan kinerja dan loyalitas karyawan terhadap perusahaan. Menurut penelitian Erni Rusyani (dosen Fak. Ekonomi Unpas Bandung) perusahaan yang tidak perduli pada etikq bisnis, maka kelangsungan hidup perusahaan itu akan terganggu dan akan berdampak pula pada kinerja keuangannya. Hal ini terjadi akibat pihak manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis. Segala kompetensi, keterampilan, keahlian, potensi, dan modal lainnya ditujukan sepenuhnya untuk memenangkan kompetisi yang tidak sehat ini.

Di dalam tingkat kompetisi yang sangat tinggi, perusahaan yang dapat bertahan adalah perusahaan yang inovatif, proaktif, dan berani dalam mengambil risiko. Hal ini hanya dapat terjadi jika perusahaan itu memiliki budaya kerja yang suportif. Salah satu syaratnya adalah adanya etika perusahaan.

MENEGAKKAN ETIKA BISNIS

Pengertian etika harus dibedakan dengan etiket. Etiket berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan yang baik antara sesama menusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa Latin, berarti falsafah moral dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama.

Berikut ini beberapa pendapat para ahli tentang etika:

“Etika merupakan bagian dari filsafat. Sebagai ilmu, etika mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia . . .memang apa yang tertemukan oleh etika mungkin menjadi pedoman seseorang, tetapi tujuan etika bukanlah untuk memberi pedoman, melainkan untuk tahu.”(Prof. Ir. Poedjawiyatna, Etika, Filsafat Tingkah Laku)

“Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan padangan-pandangan moral “(Franz Magnis Suseno)

“Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok.” (A. Sonny Keraf)

“Etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika disebut pula akhlak dan disebut pula moral.” (Drs.Sudarsono)

Dengan membaca pendapat-pendapat di atas, kita mengetahui bahwa ada banyak pengertian tentang etika. Yang penting bagi pelaku bisnis adalah bagaimana menempatkan etika pada kedudukan yang pantas dalam kegiatan bisnis. Tugas pelaku bisnis adalah berorientasi pada norma-norma moral. Dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari dia berusaha selalu berada dalam kerangka ‘etis’, yaitu tidak merugikan siapa pun secara moral.

Tolok ukur dalam etika bisnis adalah standar moral. Seorang pengusaha yang beretika selalu mempertimbangkan standar moral dalam mengambil keputusan: apakah keputusanku ini dinilai baik atau buruk oleh masyarakat? Apakah keputusanku berdampak baik atau buruk kepada orang lain? Apakah keputusanku ini melanggar hukum atau tidak?

Ada dua prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etis dalam pengambilan keputusan yaitu :

1. Prinsip Konsequentialis: Konsep etika ini berfokus pada konsekuensi dari pengambilan keputusan yang dilakukan seseorang. Ini artinya, penilaian apakah sebuah keputusan dapat dikatakan etis atau tidak, itu tergantung pada konsekuensi (dampak) dari keputusan tersebut. Misalnya, keputusan mengalirkan lumpur panas ke laut. Penilaian etis atas keputusan ini diukur dari dampaknya terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat.

2. Prinsip Non-Konsekuentialis: Konsep etika ini mendasarkan penilaian pada rangkaian peraturan yang digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan. Penilaian etis lebih didasarkan pada alasan, bukan pada akibatnya. Ada dua prinsip utama di dalam konsep ini, yaitu:

* Prinsip Hak: Menjamin hak asasi manusia. Hak ini berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain.
* Prinsip Keadilan: Keadilan biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran,dan kesamaan. Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu : (1). Keadilan distributif. Keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota kelompok. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban sosial. (2). Keadilan retributif. Keadilan yang terkait dengan retribution (ganti rugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang harus bertanggungjawab atas dampak negatif atas tindakan yang dilakukannya (kecuali jika tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain.) (3). Keadilan kompensatoris. Keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia.

10 PRINSIP PENERAPAN ETIKA BISNIS

Berikut ini adalah 10 Prinsip di dalam menerapkan Etika Bisnis yang positif:

1. Etika Bisnis itu dibangun berdasarkan etika pribadi: Tidak ada perbedaan yang tegas antara etika bisnis dengan etika pribadi. Kita dapat merumuskan etika bisnis berdasarkan moralitas dan nilai-nilai yang kita yakini sebagai kebenaran.
2. Etika Bisnis itu berdasarkan pada fairness. Apakah kedua pihak yang melakukan negosiasi telah bertindak dengan jujur? Apakah setiap konsumen diperlakukan dengan adil? Apakah setiap karyawan diberi kesempatan yang sama? Jika ya, maka etika bisnis telah diterapkan.
3. Etika Bisnis itu membutuhkan integritas. Integritas merujuk pada keutuhan pribadi, kepercayaan dan konsistensi. Bisnis yang etis memperlakukan orang dengan hormat, jujur dan berintegritas. Mereka menepati janji dan melaksanakan komitmen.
4. Etika Bisnis itu membutuhkan kejujuran. Bukan jamannya lagi bagi perusahaan untuk mengelabuhi pihak lain dan menyembunyika cacat produk. Jaman sekarang adalah era kejujuran. Pengusaha harus jujur mengakui keterbatasan yang dimiliki oleh produknya.
5. Etika Bisnis itu harus dapat dipercayai. Jika perusahaan Anda terbilang baru, sedang tergoncang atau mengalami kerugian, maka secara etis Anda harus mengatakan dengan terbuka kepada klien atau stake-holder Anda.
6. Etika Bisnis itu membutuhkan perencanaan bisnis. Sebuah perusahaan yang beretika dibangun di atas realitas sekarang, visi atas masa depan dan perannya di dalam lingkungan. Etika bisnis tidak hidup di dalam ruang hampa. Semakin jelas rencana sebuah perusahaan tentang pertumbuhan, stabilitas, keuntungan dan pelayanan, maka semakin kuat komitmen perusahaan tersebut terhadap praktik bisnis.
7. Etika Bisnis itu diterapkan secara internal dan eksternal. Bisnis yang beretika memperlakukan setiap konsumen dan karyawannya dengan bermartabat dan adil. Etika juga diterapkan di dalam ruang rapat direksi, ruang negosiasi, di dalam menepati janji, dalam memenuhi kewajiban terhadap karyawan, buruh, pemasok, pemodal dll. Singkatnya, ruang lingkup etika bisnis itu universal.
8. Etika Bisnis itu membutuhkan keuntungan. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang dikelola dengan baik, memiliki sistem kendali internal dan bertumbuh. Etika adalah berkenaan dengan bagaimana kita hidup pada saat ini dan mempersiapkan diri untuk masa depan. Bisnis yang tidak punya rencana untuk menghasilkan keuntungan bukanlah perusahaan yang beretika.
9. Etika Bisnis itu berdasarkan nilai. Perusahaan yang beretika harus merumuskan standar nilai secara tertulis. Rumusan ini bersifat spesifik, tetapi berlaku secara umum. Etika menyangkut norma, nilai dan harapan yang ideal. Meski begitu, perumusannya harus jelas dan dapat dilaksanakan dalam pekerjaan sehari-hari.
10. Etika Bisnis itu dimulai dari pimpinan. Ada pepatah, “Pembusukan ikan dimulai dari kepalanya.” Kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap corak lembaga. Perilaku seorang pemimpin yang beretika akan menjadi teladan bagi anak buahnya.

Di dalam persaingan dunia usaha yang sangat ketat ini, etika bisnis merupakan sebuah harga yang tidak dapat ditawar lagi. Seorang konsumen yang tidak puas, rata-rata akan mengeluh kepada 16 orang di sekitarnya. Dalam zaman informasi seperti ini, baik-buruknya sebuah dunia usaha dapat tersebar dengan cepat dan massif. Memperlakukan karyawan, konsumen, pemasok, pemodal dan masyarakat umum secara etis, adil dan jujur adalah satu-satunya cara supaya kita dapat bertahan di dalam dunia bisnis sekarang.

Menentukan Arah Bisnis Dalam Ketidakpastian Ekonomi Global

Menentukan Arah Bisnis Dalam Ketidakpastian Ekonomi Global
by djajendra @ 2009-05-13 – 07:04:32

"Perusahaan Yang Pintar Pasti Membangun Karakter Pimpinan, Karyawan, Dan Customer Yang Mampu Menyatu Membangun Daya Tahan Perusahaan Dalam Menghadapi Ketidakpastian Bisnis. Termasuk, Bisa Mempertahankan Daya Saing, Produktivitas Dan Profitabilitasnya." - Djajendra

Ketika Perusahaan berada dalam arah yang tidak pasti di masa krisis ekonomi global ini, sudah seharusnya para pimpinan perusahaan melihat realitas ini untuk melakukan perubahan buat membangun daya saing perusahaan yang lebih baik.
Setiap pimpinan dari fungsi dan peran kerja masing-masing wajib mencari informasi, petunjuk, dan rencana yang jelas untuk bisa bertindak menyelamatkan perusahaan dari badai krisis yang lebih besar.
Jika para pemimpin ikhlas menyatu dalam sebuah tim kerja yang solid, untuk memotivasi dan memberikan harapan yang lebih kepada para karyawan dan customer, maka dapat dipastikan tidak akan ada orang di dalam perusahaan yang membayangkan hal-hal terburuk dari krisis ekonomi global yang sedang terjadi ini.
Para pimpinan bersama-sama semua karyawan dan customer setianya harus menjadi satu kekuatan yang solid untuk menghadapi ketidakpastian bisnis perusahaan.
Setiap perbedaan dan kepentingan harus digantikan dengan kolaborasi dan kerja sama yang saling membantu satu sama lain untuk membuat perusahaan mampu bertahan hidup dari badai krisis ekonomi global.
Jika pimpinan, karyawan, dan customer setia tidak menyatu, maka perusahaan akan kehilangan daya tahannya untuk bisa mempertahankan produktivitas dan profitabilitasnya. Hal ini jelas akan membuat perusahaan sulit untuk tetap bisa survive di masa yang tidak pasti ini.
Setelah perusahaan yakin dengan kekuatan kepemimpinan, karyawan, dan customer setianya, perusahaan harus menentukan arah bisnis secara bijaksana dengan skenario optimistis. Kemudian, membangun komunikasi, kolaborasi, koordinasi yang kuat diantara pimpinan, karyawan, dan customer, untuk bisa bertahan hidup dan berkembang selama masa ketidakpastian bisnis akibat dari krisis ekonomi global ini.
Perusahaan harus mengakui semua kenyataan yang ditimbulkan oleh badai krisis ekonomi global ini. Dan yang terpenting, perusahaan tidak boleh berkeluh-kesah meratapi hambatan dan tantangan yang ada, tapi harus segera menentukan arah untuk mengatur seluru energi positif dari para pimpinan, karyawan, dan customer setia, untuk kemudian membuat strategi-strategi yang kreatif dan dinamis buat menyelamatkan perusahaan dari keruntuhannya.

Perkembangan Etika Bisnis

Perkembangan Etika Bisnis
Written by Nurrahman Adi Putra

Berikut perkembangan etika bisnis menurut Bertens (2000):

1. Situasi Dahulu

Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.

2. Masa Peralihan: tahun 1960-an

ditandai pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan). Hal ini memberi perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business and Society. Topik yang paling sering dibahas adalah corporate social responsibility.

3. Etika Bisnis Lahir di AS: tahun 1970-an

sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di AS.

4. Etika Bisnis Meluas ke Eropa: tahun 1980-an

di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah bisnis yang disebut European Business Ethics Network (EBEN).

5. Etika Bisnis menjadi Fenomena Global: tahun 1990-an

tidak terbatas lagi pada dunia Barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh dunia. Telah didirikan International Society for Business, Economics, and Ethics (ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.

Pengertian Etika Bisnis

Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis (Velasquez, 2005).

Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain adalah:

1. Pengendalian diri

2. Pengembangan tanggung jawab social (social responsibility)

3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi

4. Menciptakan persaingan yang sehat

5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”

6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi)

7. Mampu menyatakan yang benar itu benar

8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha ke bawah

9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama

10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati

11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hokum positif yang berupa peraturan perundang-undangan

Ada 3 jenis masalah yang dihadapi dalam Etika yaitu

1. Sistematik

Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya dimana bisnis beroperasi.

2. Korporasi

Permasalahan korporasi dalam perusahaan bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan yang dalam perusahaan-perusahaan tertentu. Permasalahan ini mencakup pertanyaan tentang moralitas aktivitas, kebijakan, praktik dan struktur organisasional perusahaan individual sebagai keseluruhan.

3. Individu

Permasalahan individual dalam etika bisnis adalah pertanyaan yang muncul seputar individu tertentu dalam perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan tentang moralitas keputusan, tindakan dan karakter individual.

Neoliberalisme dan Etika Bisnis dalam Persaingan Usaha

Neoliberalisme dan Etika Bisnis dalam Persaingan Usaha

Oleh: Prof Dr Hj Ernie Tisnawati Sule SE MSi(Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran)Istilah neoliberalisme tiba-tiba saja menjadi wacana hangat di tengah-tengah masyarakat, terutama ketika Boediono secara mengejutkan diajukan sebagai cawapres SBY dalam pilpres mendatang. Neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal yang mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak intervensi pemerintah dalam ekonomi domestik. Paham ini memfokuskan pada metode pasar bebas, pembatasan terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.Paham neoliberal awalnya berangkat dari diskursus yang berkembang di kalangan ekonom di Washington DC, yang terdiri atas IMF, Bank Dunia, dan Depkeu AS, untuk menyikapi krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Latin pada pertengahan 1980 dan berulang lagi pada 1994, dan menghasilkan Konsensus Washington (Williamson: 1994), yang intinya disarikan dalam tiga pilar penting, yaitu: (I) Kebijakan fiskal yang disiplin dan konservatif, (II) Privatisasi BUMN, dan (III) Liberalisasi pasar (Stiglitz: 2002). Wujud neoliberalisme secara lebih jelas dapat diketahui melalui ciri-cirinya:- Kekayaan terpusat pada sekelompok orang ataupun sindikat bisnis raksasa. - Mati dan lumpuhnya fungsi negara dalam layanan publik.- Privatisasi atas semua sektor layanan publik (pendidikan dan kesehatan).- Semua kekuatan kritis menghamba pada rezim pasar (media, intelektual, dan gerakan sosial).Melalui ciri-ciri tersebut diketahui bahwa sifat dasar dari sistem neoliberalis adalah diskriminatif. Hal ini disebabkan keberpihakannya kepada kalangan pemilik modal saja. Bahkan lebih dari...

Etika Bisnis : Memburu software ilegal sampai ke dapur perusahaan

Memburu software ilegal sampai ke dapur perusahaan

sumber: Suwantin Oemar; Bisnis Indonesia (11 April 2005) Perusahaan swasta, yang masih menggunakan software ilegal untuk tujuan komersial, tampaknya harus berpikir dua kali untuk meneruskan penggunaan peranti lunak itu pada personal computer mereka. Bila tidak menggantinya dengan software resmi, maka bersiaplah untuk berhadapan dengan penegak hukum.

Ada sebuah kejadian menarik soal penggunaan software ilegal di perusahaan swasta. Tahun lalu, sebuah perusahaan tergolong besar di Jakarta tiba-tiba didatangi oleh aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum datang setelah menerima informasi yang kuat bahwa perusahaan itu menggunakan banyak software ilegal untuk kepentingan bisnis mereka. Dugaan penegak hukum ternyata tidak meleset. Setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan banyak personal computer menggunakan software tidak resmi alias ilegal, sehinga polisi saat itu juga langsung melakukan penyegelan terhadap PC perusahaan. Memang tidak semua PC di perusahaan tersebut yang disegel oleh polisi karena banyak juga yang menggunakan software resmi.

Modus operandi yang dilakukan oleh perusahaan itu adalah dengan cara membeli beberapa software resmi, kemudian perusahaan itu menggandakannya melebihi kuota yang diizinkan. Biasanya satu software untuk satu personal computer, tapi ada juga satu software untuk beberapa komputer misalnya 10 komputer sesuai dengan perjanjian, tapi si perusahaan tersebut menggandakannya melebihi kuota yang diizinkan. Penggandaan itu bisa saja bukan merupakan kebijakan dari perusahaan atau hanya merupakan inisiatif dari karyawan, tapi bagaimanapun juga yang bertanggungjawab terhadap pemakaian software ilegal itu adalah perusahaan.

Kasus yang dialami oleh perusahaan tersebut di atas bisa dijadikan contoh dan sebagai peringatan bagi perusahaan swasta lain untuk menghindari penggunaan software ilegal, kecuali perusahaan mau menghadapai tuntutan hukum. Bakan tidak mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi akan banyak perusahaan yang bakal terkena razia atau penyegelan personal computer oleh aparat penegak hukum di perusahaan. Business Softare Alliance (BSA)-suatu perkumpulan industri yang bergerak di software AS-sudah menyatakan 'perang' dan akan terus melacak penggunaan software ilegal oleh perusahaan swasta dengan cara melibatkan masyarakat melalui sayembara berhadiah Rp50 juta bagi siapa saja yang memberikan informasi yang akurat dan tepat tentang penggunaan software ilegal di perusahaan.

Informasi yang masuk ke BSA bisa saja dari masyarakat luas, bisa saja dari karyawan perusahaan itu sendiri yang tidak loyal, sehingga mereka memberikan informasi kepada BSA. Jika hal demikian terjadi, maka perusahaan Anda akan menjadi target aparat penegak hukum dan besiaplah untuk menerima kedatangan polisi dan personal computer Anda yang kedapatan menggunakan software tidak resmi akan disegel. Gunawan Suryomurcito, Ketua Perhimpunan Masyarakat HaKI mengemukakan bahwa razia atau penggerebekan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sampai ke perusahaan itu sah-sah saja, asalkan petugas memiliki data dan informasi yang akurat untuk itu.

Dasar untuk melakukan penggeberakan atau penyegelan terhadap end user software ilegal adalah Pasal 72 ayat 3 Undang Undang Hak Cipta (UU No.19/2002) Dasar hukum "Bila ternyata sebuah perusahaan menggunakan software tidak resmi untuk tujuan komersial, maka kepada mereka bisa dikenakan pasal tersebut di atas, "kata Gunawan. Pasal 72 ayat 3 UU Hak Cipta berbunyi "Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta." Mengapa perusahaan swasta kini jadi sasaran aparat untuk menertibkan dan menegakan hukum di bidang hak cipta?

"BSA menduga banyak perusahaan swasta di Indonesia yang menggunakan software ilegal untuk tujuan komersial. Mereka menikmati keuntungan atas pemakaain software tidak resmi. Ini kan tidak fair," katanya. Pemakaian produk ilegal tersebut sebenarya tidak saja terjadi perusahaan swasta, tapi juga instansi pemerintah dan lembaga pendidikan. Bahkan, pemakaian software ilegal di instansi pemerintah tidak kalah hebatnya. Yang menjadi pertanyaan sekarang apakah instansi pemerintah dan lembaga pendidikan juga akan menjadi sasaran razia atau penggerebekan?. "Untuk lembaga pendidikan kan sudah ada paket khusus yang harganya jauh lebih murah. Tapi, saya rasa target pertama adalah perusahaan swasta."

Menurut Gunawan, sayembara yang dilakukan oleh BSA dalam rangka penegakan hukum di bidang hak cipta akan berdampak positif, sehingga diharapkan perusahaan mau melegalkan software yang tidak resmi, sehingga semuanya beralih ke produk resmi. Dia mengemukakan bahwa hingga kini belum ada kebijakan teknologi informasi dari perusahaan swasta, sehingga kalau ada karyawan yang menggunakan software ilegal di kantor, maka hal itu tetap saja menjadi tanggungjawab perusahaan. Konon kini sudah ada satu instansi pemerintah yang membuat batasan yang jelas soal penggunaan software ilegal tersebut. Instansi pemerintah itu sudah memiliki komitmen menggunakan semua software legal di lingkungannya, sehingga bila ada kedapatan produk ilegal pada personal computer karyawan, maka hal itu akan menjadi tanggungjawab mereka sendiri.

Tujuan komersial Kita tidak tahu apakah sudah ada kebijakan dari perusahaan swasta soal penggunaan software tersebut, padahal banyak perusahaan swasta yang menjalan operasional untuk tujuan komersial dengan menggunkan software ilegal. Sebelum UU Hak Cipta yang baru diberlakukan, pernah juga dilakukan seperti itu dan ternyata efektif, tapi end user tidak dapat dikenakan tindakan hukum karena pasal untuk menjeratnya waktu itu belum ada. "Dengan Undang Undang Hak Cipta yang baru dapat dilaksanakan karena ada pasal 72 ayat 3," katanya. Dia mengemukakan bahwa pengusaha swasta hendaknya perlu mengubah pemahaman soal piranti lunak ini. Dulu software dianggap bagian dari hardware. Dengan adanya UU Hak Cipta yang baru, maka pemahanan perusahaan hendaknya perlu diubah.

"Software itu merupakan aset, sedangkan dulu dianggap cost." Gunawan mengakui bahwa harga software ilegal atau bajakan jauh lebih murah dari produk resmi. Dia memberi contoh harga software autocad berkisar US$3000, sedangkan harga tidak resmi atau produk bajakan bisa didapat di Glodok, Jakarta Pusat berkisar ratusan dolar atau ratusan ribu rupiah. Tapi, tegasnya, jangan lupa banyak juga ruginya menggunakan produk tidak resmi."Software bajakan tidak dapat dilakukan updating, kalau ada kesulitan terhadap software maka tidak ada after sales service-nya. Ini hendaknya menjadi perhatian juga bagi perusahaan,"katanya Selain itu, menurut dia, maraknya penggunaan software ilegal juga berdampak negatif terhadap perkembangan industri tersebut di dalam negeri.

"Orang akan malas berkreasi untuk menciptakan suatu hasil karya karena kuranganya perlindungan hukum terhadap para penciptanya," tambahnya. Industri AS yang berbasis hak cipta memang memiliki kepentingan terhadap penegakan hukum hak cipta karena pasar mereka digerogoti oleh peredaran produk bajakan, yang jumlahnya cukup besar. Menurut laporan tahunan yang diterbitkan oleh IIPA (International Intellectual Property Alliance) perkiraan kerugian industri berbasis hak cipta AS di seluruh dunia, termasuk di AS pada tahun 2004 berkisar US$23 miliar-US$30 miliar. Jumlah tersebut belum lagi termasuk kerugian pembajakan melalui internet. IIPA mencatat kerugian industri AS mencapai sedikitnya US$203,6 juta akibat pembajakan hak cipta di Indonesia. Kerugian tersebut berasal dari pembajakan film US$32juta, musik US$27,6 juta dan piranti lunak US$112 juta serta buku US$32 juta. Dalam laporan tersebut juga disebutkan tingkat pembajakan hak cipta baik film, musik, software dan buku di Indonesia masih relatif tinggi yaitu rata-rata sekitar 86,3 persen dengan rincian film (92 persen ), musik (80 persen ) dan software (87 persen). Menurut laporan ekonomi berjudul Industri hak cipta dalam ekonomi AS yang dirilis oleh IIPA pada Oktober 2004 terungkap kontribusi sektor industri berbasis hak cipta terhadap Gross Domestic Product (GDP) AS cukup besar.

IIPA adalah gabungan dari enam asosiasi, termasuk Business Software Alliance (BSA) yang mewakili kepentingan industri yang berbasis hak cipta Amerika Serikat. Anggota asosiasi ini mewakili sedikitnya 1.300 perusahaan yang memproduksi dan mendistribusikan produk yang dilindungi oleh undang undang hak cipta. Yang jelas BSA sudah melakukan terebosan untuk menegakkan hukum di bidang software. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah cara-cara seperti itu sudah sesuai aturan hukum yang berlaku. Jangan sampai cara seperti itu justru menimbulkan masalah hukum baru.