Minggu, 15 November 2009

Etika [bisnis] Dalam Praktek

Etika [bisnis] Dalam Praktek
Asril Sitompul, S.H., LL.M

PUSAT INFORMASI HUKUM INDONESIA (PIHI)



1. Pendahuluan

Berbagai kekuatan dan dorongan mempengaruhi perilaku manusia, diantaranya kekuatan dan dorongan yang datang dari luar dirinya (negara, masyarakat, kelompok, pribadi), dan kekuatan dan dorongan yang timbul dari alam (cuaca, keadaan alam, polusi udara), serta kekuatan dan dorongan yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri (sifat azasi, mental, spiritual).

Kekuatan yang mempengaruhi perilaku manusia dari luar dirinya diantaranya adalah sistem hukum, yang dengan disertai ancaman berupa sanksi yang akan dijatuhkan oleh pihak penguasa, berupa paksaan bagi manusia untuk mengikuti standar-standar perilaku tertentu dalam rangka membentuk suatu tatanan dan ketertiban dalam hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Beberapa ahli menyatakan bahwa di dalam masyarakat yang demokratis, kekuasaan memaksa yang mempunyai otoritas atas pihak lain (misalnya ketentuan-ketentuan hukum) adalah berasal dari dan didasarkan pada kemauan yang datang dari pihak yang dikuasai. Pandangan-pandangan tersebut berasal dari teori-teori kontrak sosial.[1]

Selanjutnya, di antara hal-hal yang secara internal mempengaruhi perilaku manusia pribadi adalah opini manusia terhadap dirinya sendiri, baik yang timbul dari diri sendiri maupun opini yang diterima dari orang lain. Di dalam kategori orang lain termasuk orang tua, anak-anak, keluarga, teman dan semua orang lain yang tidak terdefinisikan, oleh karena itu kadang-kadang banyak orang yang memandangnya sebagai sesuatu yang mencemaskan.

Sebagian besar opini tersebut terbentuk dari suatu sistem yang membimbing manusia dalam menilai suatu hubungan atau tindakan, sistem inilah yang disebut dengan “etika.”

2. Pendekatan Umum

Pendekatan umum dalam pembahasan masalah etika bisnis dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan: “apakah suatu perusahaan yang menjalankan bisnis, sebagai badan hukum, merupakan badan hukum privat atau badan hukum publik?”

Pembedaan ini perlu, karena bila kita memandang perusahaan sebagai badan hukum privat, maka perusahaan dapat diperlakukan sebagai subjek hukum privat, dengan demikian, perusahaan dapat bertindak untuk dirinya sendiri, meskipun kewajiban tersebut dapat diperpanjang jangkauannya atas kewajibannya untuk kepentingan orang lain. Tambahan pula, sebagai badan hukum privat suatu perusahaan berhak untuk mendapat perlindungan hukum sebagai orang pribadi lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan dapat pula ia memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.

Di samping itu, bila kita memandang perusahaan sebagai badan hukum publik, maka keadaan ini menjadi sebaliknya, perusahaan mempunyai kewajiban bukan hanya kepada pemegang sahamnya, tapi juga kepada masyarakat pada umumnya, mereka mempunyai kewajiban umum kepada publik meskipun mereka akhirnya laba yang akan diterima akan berkurang. Menurut pandangan ini, segala keputusan yang diambil perusahaan menjadi objek bagi penilaian oleh masyarakat, dan harus dibatalkan bila ternyata tidak memenuhi standar-standar yang ditentukan secara umum.[2]

3. Etika

Etika merupakan suatu kehendak yang sistematik melalui penggunaan alasan untuk mempelajari bentuk-bentuk moral dan pilihan-pilihan moral yang dilakukan oleh seseorang dalam menjalankan hubungan dengan orang lain. Dalam diskusi tentang etika bisnis, titik pandang harus difokuskan kepada suatu kelompok dan situasi tertentu, misalnya pada lingkungan bisnis teknik-teknik evaluasi diarahkan kepada perbuatan yang ada di dalam lingkungan yang mempunyai tujuan-tujuan bisnis.

Keputusan dari seorang dokter untuk tidak memberikan informasi yang kesehatan pasiennya kepada pihak lain; dilema yang dialami seorang pengacara dalam menangani benturan kepentingan dengan kliennya; ataupun tanggung jawab seorang pelaku bisnis dalam pemasaran produk yang mengandung bahaya menimbulkan pertanyaan yang sama yaitu apakah yang dimaksud dengan benar, salah, baik, atau buruk? Apakah yang merupakan pilihan etika? Dan dalam perbuatan yang bagaimana seseorang seharusnya sampai kepada suatu keputusan untuk melakukan tindakan?

Etika adalah cabang dari filsafat yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya, dengan makhluk lain, dan dengan lingkungan alam. Dengan didasari oleh filsafat, studi mengenai etika mencari pengertian tentang kebenaran dan prinsip-prinsip dasar yang memberi bimbingan untuk mendapat pengertian tentang dunia ini.

4. Teori Etika

Banyak teori dan pelajaran tentang etika (contohnya adalah filsafat terapan) yang mengevaluasi masalah-masalah moral. Di antaranya adalah teori-teori Aristotelianisme, consequentialisme, instrumentalisme, hedonisme, egoisme, altruisme, utilitarianisme, deontologisme, dan etika Kantian.

Teleological ini dianut oleh pengikut utilitarianisme, di antara para pemukanya terdapat Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1973). Termasuk pula di dalam analisis teleological ini adalah pandangan dari filsuf kontemporer John Rawls yang dinamakan “veil of ignorance”, didasarkan kepada prinsip distributive justice.

Ahli fisafat terapan yang mengadopsi pendekatan Kantian menganut pandangan Deontological, yaitu pandangan yang berbasis proses pengambilan keputusan dalam menentukan suatu perbuatan. Pemukanya di antaranya adalah filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804)[3]

Secara praktis, pandangan-pandangan ini berhubungan dengan kegiatan dalam menguji suatu perbuatan dengan hati-hati. Banyak ahli yang percaya bahwa kedua pendekatan ini dapat digunakan sebagai analisis pemecahan problem moral.

Banyak orang yang mungkin secara tidak sadar mempraktekkan pendekatan teleological terhadap etika dalam memutuskan dilema moral. Utilitarianisme adalah bentuk etika teleological yang lebih familiar dikenal oleh pelaku-pelaku bisnis yang memusatkan pandangannya terhadap masalah “the bottom line”. Keputusan-keputusan bisnis diambil dengan pandangan yang dipusatkan kepada akibat yang mungkin timbul atau konsekuensi apabila terjadi pertentangan di antara keputusan-keputusan itu, pertanyaan yang selalu diajukan adalah tentang “apa yang terbaik bagi perusahaan?”

Jika pelaku bisnis, yang merupakan suatu badan hukum yaitu perusahaan, mempertimbangkan hanya bagaimana agar suatu tindakan akan memberikan keuntungan yang besar, maka hal ini adalah merupakan pandangan utilitarianisme. Utilitarianisme dalam hal ini dikenal sebagai salah satu dari pandangan dengan analisis laba-rugi (cost-benefit).

Menurut pandangan utilitarianisme, kerangka yang harus digunakan dalam rangka mempertimbangkan suatu tindakan yang akan diambil, harus didasarkan pada perhitungan atas akibat atau konsekuensi dari tindakan itu. Tujuannya adalah untuk memilih alternatif yang menghasilkan “yang paling baik bagi kelompok terbesar.” Akan tetapi, pandangan ini dihadapkan kepada dua pertanyaan yang sangat penting, yaitu untuk mencapai tujuan, seseorang harus mampu untuk mengidentifikasi apa yang paling “baik” dan siapa yang merupakan kelompok “terbesar” dalam setiap transaksi termasuk pula akibat setiap pemutusan kontrak bisnis terhadap karyawannya yang kemungkinan akan kehilangan pekerjaan atau setidaknya kekurangan penghasilan karena berkurangnya produksi dan seterusnya mempertimbangkan akibat tersebut terhadap keluarga karyawan.

Pemikiran etika yang berbasis kewajiban adalah deontology, yaitu suatu pandangan dimana keputusan tentang suatu tindakan harus diambil dengan dasar adanya kewajiban, bukan dengan dasar akibat atau konsekuensi dari keputusan itu. Pendekatan ini sering pula dinamakan pendekatan “kewajiban demi kepentingan kewajiban“. Para penganut pandangan ini harus menerapkan keahlian dan pemikiran untuk menemukan bentuk bahasan tentang kewajiban tersebut dan mengidentifikasi manfaatnya.

Kant mengemukakan anggapan bahwa tidak ada satupun di dunia ini - tentunya juga tidak ada di luar dunia - yang dapat dibentuk sesuatu yang dinamakan baik tanpa kualifikasi yang lain daripada ‘itikad baik’. Dalam pandangannya itikad baik adalah niat yang rasional, dan niat yang rasional adalah sesuatu yang bekerja secara konsisten dan tidak mengalami kontradiksi. Prinsip konsistensi ini menghasilkan suatu ujian yang dapat mengenali kewajiban seseorang yaitu kategori imperatif atau hukum yang universal. Menurut kategori imperatif ini, kewajiban seseorang dalam suatu keadaan tertentu akan menjadi jelas bila seorang bertanya: apakah keputusan seseorang dapat di jadikan universal tanpa ada kontradiksi apabila di adopsi oleh orang lain dalam situasi yang sama tanpa membuat suatu pengecualian.

Bagi penganut pendekatan Kantian perilaku membuat janji palsu adalah pelanggaran terhadap hukum umum yang telah diakui secara universal. Secara rasional seseorang tidak boleh menginginkan untuk dapat secara bebas membuat janji palsu. Keadaan ini tidak dapat dijadikan kaedah yang universal, dan seseorang tidak dapat membuat suatu pengecualian khusus bagi dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, mengambil milik orang lain meskipun dalam situasi seperti itu adalah berarti mengancam pemilik barang tersebut dan tidak menghargai kehormatan pemiliknya.

Kaum Utilitarian mengemukakan alasan bahwa hal yang baik yang dapat diikuti mungkin adalah apa yang dapat merupakan kesempatan agar bisnis berjalan lancar dan para pekerja yang membutuhkan dapat dipekerjakan. Hal yang buruk adalah bila perusahaan tidak mendapat pembayaran, para pekerjanya akan menderita, dan, bila pengamatnya adalah seorang Utilitarian, akibat buruk akan datang dari pihak lain yang menganggap bahwa seseorang dapat membuat janji palsu dengan tidak melakukan pembayaran.

Seorang filsuf modern, W.D Ross, memberikan suatu versi deontology yang mendefinisikan kewajiban sebagai suatu tindakan mengambil tanggungjawab atas kedua kewajiban yang murni dan kewajiban-kewajiban untuk menghasilkan akibat yang terbaik. Ross mengenali bahwa suatu hubungan tertentu adalah lebih penting daripada yang lainnya dan bahwa suatu akibat tertentu akan lebih utama dari yang lainnya. Dalam hal terjadi pertentangan kewajiban, Ross menganjurkan untuk menilai konsekuensi dan membuat prioritas dari kewajiban-kewajiban untuk mengantisipasinya.

5. Penerapan Hak

Pendekatan ini dirumuskan oleh John Rawls, seorang pendukung teori Landasan Hak, yang penelitiannya diarahkan kepada eksplorasi konsep keadilan. Namun demikian, hasil karyanya sendiri bersandar kepada penggunaan analisis etika dan sudah diterapkan secara luas sebagai alat dalam pendidikan etika bisnis.

Rawls mengarahkan kepada suatu test hipotesa mental yang dapat digunakan untuk menentukan apa yang dinamakan “adil.” Ketika diminta untuk memberikan keputusan yang mempunyai dimensi etika, langkah pertama yang harus diambil adalah menuju ke balik “veil of ignorance” (tirai pengabaian). Dengan melakukan hal itu, maka orang akan mengetahui bukan saja statusnya, tetapi juga akan tahu bagaimana akibat dari suatu keputusan akan membawa dampak kepada dirinya secara pribadi. Kemudian akan dapat dilakukan pendekatan pada masalah ini dengan mengajukan suatu pertanyaan yang sederhana: apa yang akan timbul sebagai keadilan yang rasional, dalam kasus tertentu itu dan pada prinsip-prinsip umum? Jawabannya, sebagaimana diajukan oleh teori ini, tidak akan berpihak, karena keadaan lingkungan pribadi telah dikesampingkan.

Ada beberapa cara yang berbeda untuk mempelajari perilaku dalam hal pengambilan keputusan moral. Bila kita melihat ke dalam situasi bisnis, maka aspek-aspek dari ketiga pendekatan (utilitarian-teleologocal, deontological, dan pendekatan Rawls) akan muncul. Proses untuk mengajukan pertanyaan yang dianjurkan oleh masing-masing metode cenderung untuk menstimulasi pertimbangan yang mungkin semula tidak diambil seseorang.

6. Hukum dan Etika

Hukum tidak selalu lebih lambat daripada etika. Dengan tidak menyampingkan hambatan-hambatan yang sering menjadi preseden, hukum juga dapat berubah untuk mengakomodir pergeseran nilai-nilai tertentu yang mengikuti prinsip moral yang lebih jelas. Akhir-akhir ini, di beberapa bidang hukum, pihak legislatif dan pengadilan telah menunjukkan kemauan untuk bertindak sebagai sponsor dan penegak hukum yang mengharuskan standar perilaku yang lebih tinggi. (contohnya kewajiban CSR bagi setiap perusahaan di Undang-Undang PT yang baru).

Kebanyakan aturan hukum berada di bawah tingkatan tuntutan etika, akan tetapi, dalam kenyataan hukum ikut mendorong meningkatnya tuntutan etika. Ini adalah dapat dimengerti apabila kita mempelajari perilaku menurut “tingkat perkembangan moral” yang diajukan oleh Lawrence Kohlberg, seorang psikolog terkemuka di Amerika.

Observasi yang dilakukan Kohlberg menawarkan pandangan bagaimana para manajer bisnis berperilaku. Pandangan tersebut kira-kira sebagai berikut: bila suatu tindakan yang dilakukan merupakan hal yang “legal” maka tindakan itu pasti “baik“.

Masalah ini menimbulkan pertanyaan yang menarik tentang etika yang diterapkan pengacara dan kliennya bila mereka menangani atau terlibat dalam litigasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa banyak cara untuk memenangkan gugatan hukum atau mengambil keuntungan dalam negosiasi yang mengandung dampak di bidang etika. Sudah tentu motif etika ini ada karena hukum menyediakan berbagai teknik yang menentukan keberhasilan dalam suatu gugatan hukum.

7. Hubungan Etika dengan Perilaku Bisnis

Apa yang dapat ditarik dari fenomena berikut ini? Dalam kenyataan sering terjadi bahwa pengusaha yang selalu menjalankan bisnisnya dengan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika: melakukan penipuan, persaingan yang tidak sehat, bisnis yang curang, dan melakukan “pencurian”, namun tidak pernah tertangkap dan menjadi kaya serta berumur panjang dan akhirnya meninggal dunia dengan wajar pada usia lanjut.

Sebaliknya, terdapat pengusaha yang menjalankan bisnis dengan penuh etika, namun kemudian mempunyai anak yang menderita leukemia, dan di antaranya ada yang kehilangan pekerjaan akibat merger perusahaannya, bahkan ada pula yang menjadi cacat akibat ditabrak oleh pengendara mobil yang sedang mabuk dan mati dalam usia yang relatif muda.

Dalam kegiatan bisnis sehari-hari sangat mudah untuk menyebut etika bisnis, namun sulit sekali untuk menerapkannya. Dalam lingkungan bisnis yang semakin kompetitif, sering etika bisnis ditinggalkan semata-mata untuk mengejar keuntungan yang besar dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, atau untuk mendapatkan promosi jabatan dan terkadang untuk tetap dapat menduduki suatu jabatan.

Untuk mempertimbangkan etika dalam mengambil keputusan, merupakan proses kegiatan pemikiran etika yang sangat mirip dengan suatu studi produktif. Kerangka yang ditawarkan oleh teori-teori etika menantang para manajer untuk mencari alternatif-alternatif dan untuk menyusun alasan-alasan untuk mendukung alternatif tersebut. Hal tersebut merupakan langkah yang penting dan krusial dalam lingkungan bisnis yang semakin kompleks akhir-akhir ini, dimana pengambilan keputusan yang baik akan berdampak finansial secara langsung dari suatu tindakan yang dilakukan, namun juga terhadap kepentingan bisnis jangka panjang yang tidak terlihat dengan jelas ataupun dampaknya terhadap masyarakat.

8. Etika Dalam Investasi

Perlukah etika dalam melakukan investasi? Jawabannya tentu saja perlu. Penekanan pada pencarian laba tidak harus menjadikan investor melupakan etika. Cukup sulit untuk menentukan sasaran etika ini. Pokok pikiran yang paling penting dalam hal ini adalah jangan lakukan investasi yang merupakan pengejaran laba dengan hanya berdasarkan spekulasi.

Dalam melakukan investasi kebanyakan investor mencari dan memfokuskan perhatiannya terhadap investasi yang aman dan menjanjikan keuntungan yang tinggi, hanya sedikit yang memperhatikan investasi yang beretika.

Apabila investor akan melakukan investasi yang berdasar etika, hendaklah perhatian utamanya ditujukan kepada produk dan jasa perusahaan tersebut, sebagai contoh: jangan melakukan investasi di perusahaan yang memproduksi bahan-bahan yang mengakibatkan penyakit atau merusak lingkungan. Selanjutnya sedapat mungkin dipelajari kemana dana yang diperoleh perusahaan tersebut disalurkan, misalnya investasi di reksadana dapat menjadi investasi yang tidak beretika apabila dana yang dihimpun diinvestasikan di perusahaan-perusahaan yang produksinya mengakibatkan penyakit atau merusak lingkungan. Bagi investor yang tidak aktif menjalankan bisnis itu sendiri ada 3 (tiga) metode pendekatan yang dapat digunakan yaitu:

a. Pendekatan Negatif

Pendekatan negatif ini disebut juga teori penghindaran, di mana para investor yang beretika, akan menghindari investasi di bidang atau perusahaan yang tidak disukainya, atau bertentangan dengan prinsip etika bisnis yang dianutnya atau juga melakukan kegiatan bisnis di bidang-bidang yang melanggar ketentuan lingkungan, produksi zat kimia yang berbahaya, produksi senjata, atau melakukan investasi di negara-negara yang melakukan pelanggaran hak-hak azasi manusia.

b. Pendekatan Positif

Dalam hal ini para investor hanya akan melakukan investasi pada bidang usaha atau bisnis yang sesuai dengan etika bisnis yang dianutnya. Dalam penerapannya investor dapat menyusun daftar perusahaan atau bidang bisnis yang dipandang sesuai dengan etika bisnis yang umum.

c. Pendekatan Aktif

Dengan pendekatan ini para investor akan melakukan investasi di bidang bisnis yang menurutnya tidak sesuai dengan etika bisnis yang umum dianut, dan dalam melakukan investasi di bidang itu terkandung tujuan untuk mengambilalih kontrol terhadap perusahaan tersebut untuk selanjutnya melakukan perubahan agar perusahaan tersebut menjalankan bisnis sesuai dengan etika bisnis yang umum.

9. Etika [Bisnis] Dalam Praktek

Berbicara mengenai etika dalam kaitan dengan bisnis dan investasi, tidak cukup hanya dengan membahas teori-teori yang secara umum dianut pelaku bisnis atau para investor, akan tetapi juga perlu membahas penerapan dan pelaksanaannya dalam praktek bisnis, investasi, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini akan dibahas beberapa ilustrasi mengenai praktek etika dalam berbagai segi kehidupan, yang bila diperhatikan secara mendalam akan menampakkan gejala upaya penghindaran yang disadari atau tidak dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat.

a. Benci Tapi Beli: Kasus Timor (Mobnas)

Benci tapi beli, proyek mobil Timor yang dikenal dengan proyek Mobnas (mobil nasional) oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dianggap sebagai proyek penyelundupan hukum yang dilakukan secara terang-terangan, dan tentunya melakukan pelanggaran di berbagai bidang hukum, mulai dari perpajakan sampai kaedah hukum internasional yang terdapat di komitmen Indonesia di WTO (World Trade Organization). Namun, tidak dapat disangkal bahwa dibalik itu mobil Timor termasuk mobil yang laku di pasar.

b. Anti Bank - Pro Deposito

Ketika krisis mulai melanda Indonesia, banyak orang yang berteriak anti konglomerat tapi dibalik itu sebagian dari mereka berlomba mendepositokan uangnya di bank-bank milik konglomerat. Ketika terungkap kasus-kasus yang membuka ketidaksehatan bank-bank di Indonesia, hampir semua orang memandang dengan sinis terhadap bank-bank milik konglomerat dan menganggap bahwa bank-bank tersebut merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi Indonesia. Namun dibalik itu, berbondong-bondong orang memasukkan uangnya di dalam deposito karena tingginya bunga bank pada waktu itu.

c. Benci Krisis Beli Dolar

Semua orang mengeluh terhadap krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia tapi bila kita perhatikan banyak sekali orang yang berlomba-lomba beli dolar. Money-changer dipenuhi oleh orang-orang, mulai dari pedagang sampai dengan ibu rumah tangga. Semua orang jadi ahli valuta asing dan ahli moneter, dan mengikuti perkembangan harga valuta asing dengan seksama untuk mencari keuntungan dari perdagangan valuta asing.

d. Benci Perusahaan Beli Saham

Contoh lainnya adalah banyaknya orang yang menganjurkan untuk tidak merokok, banyak yang benci rokok, namun kita lihat kenyataan bahwa saham perusahaan rokok mempunyai kapitalisasi paling besar di Bursa Efek, dan orang-orang berlomba membeli saham perusahaan rokok. Apakah ini melanggar ketentuan hukum? Tentu saja tidak, namun seperti dikatakan di atas, etika tidak dapat hanya dilihat dari sudut pandang hukum positif yang berlaku. Ini berkaitan dengan etika investasi seperti yang telah disebutkan di atas.

e. Eksploitasi Anak Dalam Bisnis - iklan, hiburan, film

Sementara hampir semua orang berteriak tentang perlindungan anak-anak, di televisi iklan yang menggunakan anak-anak semakin gencar. Eksploitasi anak masih merupakan hal yang sangat jarang diperhatikan di Indonesia, apalagi bagi para pelaku bisnis. Semakin maraknya iklan di televisi yang menggunakan anak, bahkan bayi, sebagai penarik konsumen, menandakan rancunya jalan pemikiran masyarakat dalam kaitannya dengan etika. Sebagian besar masyarakat belum dapat membedakan eksploitasi dengan pengejaran keuntungan yang tidak melanggar etika bisnis.

Asril Sitompul, S.H., LL.M

PUSAT INFORMASI HUKUM INDONESIA (PIHI)

0 komentar: