Sabtu, 14 November 2009

Menuju Bisnis Beretika Islam

http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-02/msg00899.html

Jumat, 18 Februari 2005 02:03

Menuju Bisnis Beretika Islam
Oleh : Sri Sugiati

DIAM-diam persoalan etika bisnis rupanya diidam-idamkan juga di Indonesia.
Sudah waktunya bagi para pengusaha untuk memperhatikan etika dalam
berbisnis. Dalam melakukan bisnis jangan hanya mengejar keuntungan tapi juga
harus memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan. Demikian kata Direktur
Eksekutif Indonesia Business Links (IBL) Yanti Koestoer, di Jakarta, Jumat
(3/12/2004).
Dipandang dari segi etika, memang tanggungjawab sosial perusahaan (CSR)
tidak hanya sekadar menyangkut pengembangan komunitas (community
development/CD). Tidak juga sekadar kegiatan sosial (charity). Pengertian
CSR jauh lebih luas dari itu. Di dalamnya juga termasuk memperlakukan
karyawan dengan baik dan tidak diskriminatif serta tidak melanggar HAM.
Demikian pula, perlakuan terhadap pemasok harus baik. Jangan berbuat aniaya
terhadap para pemasok. Juga, sistem pelaporan keuangan tunggal, tidak doubel
atau beberapa laporan untuk mengelabui pemerintah dan petugas pajak. "Tidak
kalah pentingnya adalah bagaimana perusahaan dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat di sekitar lokasi perusahaan berdiri," tutur Yanti.
Ketua Umum IBL, Pradakso Hadiwidjojo, juga mengatakan pentingnya menjalankan
perusahaan dengan etika. "Kalau ingin sukses dan berkelanjutan, maka bisnis
itu harus dijalankan dengan etika, termasuk di dalamnya CSR. CSR bukanlah
sumber biaya atau pemborosan. Sebaliknya, CSR itu ikut memperbagus dan
mempercantik perusahaan," tandasnya sambil mengakui bahwa di Indonesia, CSR
masih terbilang baru.
Agaknya, perbincangan soal etika bisnis itu akan semakin mengemuka mengingat
arus globalisasi semakin deras terasa. Globalisasi memberikan tatanan
ekonomi baru. Para pelaku bisnis dituntut melakukan bisnis secara fair.
Segala bentuk perilaku bisnis yang tidak wajar seperti monopoli, dumping,
nepotisme dan kolusi tidak sesuai dengan etika bisnis yang berlaku.
Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip agama dan
nilai-nilai etika seperti pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli,
kolusi dan nepotisme cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi.
Manajemen yang tidak memperhatikan dan tidak menerapkan nilai-nilai agama
(nilai-nilai moral), hanya berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek,
tidak akan mampu survive dalam jangka panjang.
Etika bisnis ialah pengetahuan tentang tata cara ideal mengenai pengaturan
dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku
secara universal. Etika dalam implementasinya selalu dipengaruhi oleh faktor
agama dan budaya. Faktor budaya dan agama mempengaruhi proses perumusan
etika bisnis dalam dua hal: (1) Agama dan budaya dianggap sebagai sumber
utama hukum, peraturan dan kode etik. (2) Agama dan budaya lebih independen
dalam etika bisnis dibanding jenis etika bisnis lainnya.
Syariah Islam, misalnya, memberikan aturan umum dan standar etika yang
berhubungan dengan konsep bisnis, seperti dalam hal kepemilikan, keadilan,
harga, persaingan, dan hubungan antara pemilik dengan karyawan. Secara
normatif, nilai-nilai dasar yang memberikan pedoman dalam perilaku bisnis
Islami tercermin dalam perilaku Nabi Muhammad SAW. Sebagai a trading
manager, perilaku bisnis Nabi, seperti digambarkan oleh Aisyah ra, adalah
memiliki motivasi dan perilaku Qur'ani, di antaranya: berwawasan ke depan
dan menekankan perlunya perencanaan (QS 59: 18).
Dalam konsep etika demikian, hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang
sudah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); mengutamakan kepentingan umum
(public interest), misalnya dengan penekanan pada penunaian zakat, infak dan
sedekah; menekankan perlunya profesionalisme dalam berbisnis, misalnya dalam
hal komitmen pada kualitas, produktivitas kerja, efektivitas, efisiensi, dan
tertib pembukuan.
Profesionalisme telah dicontohkan dalam keseluruhan perjuangan Nabi
Muhammad, bahkan dalam semua bidang kehidupannya. Hal itu merupakan tuntunan
moral dan etika Qur'ani. Tidak hanya dalam berbisnis (QS 2: 282-283); tapi
juga dalam memenuhi komitmen (janji) dengan tepat (QS 3: 152; QS 4: 122; dan
QS 30: 6); dalam memenuhi takaran, mempertahankan kejujuran dan keadilan
dalam bermuamalah (QS 87: 1-3); dalam mengutamakan efisiensi terkait
penggunaan sumber daya, tapi tidak kikir (QS 17: 26-27); dalam menegakkan
kedisiplinan kerja (QS 24: 51-52; QS 18: 85-89).
Nabi Muhammad juga dinamis dan selalu adaptif menghadapi perubahan (QS 2:
138; QS 2: 30). Ulet, bekerja keras, sabar dan pantang menyerah (QS 2:
155-157; QS 3: 186). Menekankan perlunya ukhuwah dan pemeliharaan hubungan
baik antarsesama manusia (QS 3: 103-104; QS 6: 159-165).
Etika bisnis Islami merupakan tatacara pengelolaan bisnis berdasarkan
Al-Qur'an,
hadist, dan hukum yang telah dibuat oleh para ahli fiqih. Terdapat empat
prinsip etika bisnis Islami: (1) Prinsip tauhid yang memadukan semua aspek
kehidupan manusia, sehingga antara etika dan bisnis terintegrasi, baik
secara vertikal (hablumminallah) maupun secara horizontal (hablumminannas).
Sebagai manifestasi dari prinsip ini, para pelaku bisnis tidak akan
melakukan diskriminasi di antara pekerja, dan akan menghindari
praktik-praktik bisnis haram atau yang melanggar ketentuan syariah.
(2) Prinsip pertanggungjawaban. Para pelaku bisnis harus bisa
mempertanggungjawabkan segala aktivitas bisnisnya, baik kepada Allah SWT
maupun kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memenuhi tuntutan
keadilan. (3) Prinsip keseimbangan atau keadilan. Sistem ekonomi dan bisnis
harus sanggup menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. (4)
Prinsip kebenaran. Dalam prinsip ini terkandung dua unsur penting, yaitu
kebajikan dan kejujuran. Kebajikan dalam bisnis ditunjukkan dengan sikap
kerelaan dan keramahan dalam bermuamalah, sedangkan kejujuran ditunjukkan
dengan sikap jujur dalam semua proses bisnis yang dilakukan tanpa adanya
penipuan sedikitpun.
Integrasi etika bisnis Islami dalam proses bisnis secara keseluruhan akan
berdampak pada beberapa pengaturan. Di antaranya: menentukan standar etika
dari konsep bisnis yang berlaku; menentukan praktik bisnis yang etis dan
tidak etis; menentukan bentuk lembaga bisnis yang sah dan sesuai ketentuan
syariah; menentukan prinsip dan prosedur akuntansi yang sesuai dengan
syariah Islam; dan menekankan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab
sosial (CSR) terhadap masyarakat.
Dengan menggunakan etika bisnis Islami sebagai dasar berperilaku, baik oleh
manajemen maupun oleh semua anggota organisasi, maka perusahaan akan
mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. SDM yang berkualitas
adalah yang memiliki kesehatan moral dan mental, punya semangat dalam
meningkatkan kualitas amal (kerja) di segala aspek, memiliki motivasi yang
bersifat inner, mampu beradaptasi dan memiliki kreativitas tinggi, ulet dan
pantang menyerah, berorientasi pada produktivitas kerja, punya kemampuan
berkomunikasi, mengutamakan kerapian dan keindahan kerja. Jika akal
dikendalikan iman, akan membuat seseorang dalam berbisnis tetap berpedoman
pada standar etika yang diyakininya.
Bila memiliki SDM yang berkualitas, maka akan lahir strategic cost reduction
(SCR) atau strategi pengurangan biaya, di mana SDM akan memfokuskan
pengurangan biaya pada penyebab timbulnya pemborosan yaitu kualitas yang
rendah. Peningkatan kualitas, keandalan dan kecepatan dalam menghasilkan
produk, mengakibatkan pengurangan total biaya yang dibebankan kepada
costumer. SCR ini memiliki karakteristik bagus, yaitu bertujuan menempatkan
perusahaan pada posisi kompetitif, berlingkup luas, berjangka panjang,
bersifat kontinyu, bersifat proaktif, berfokus ke seluruh value chain.
SDM yang berkualitas itu tentu sangat penting. Karyawan (anggota organisasi)
adalah penentu akhir keberhasilan SCR dalam jangka panjang. Keseriusan
manajemen puncak amat menentukan efektivitas program pengurangan biaya, dan
mindset sebagai landasan SCR.
Untuk memiliki SDM yang berkualitas, perlu adanya pemberdayaan karyawan
(employee empowerment), di mana hal ini merupakan langkah strategis untuk
mewujudkan pengurangan biaya dalam jangka panjang. Pemberdayaan karyawan
yang terintegrasi dengan etika bisnis Islami diharapkan akan melahirkan rasa
percaya antara manajer dengan karyawan.
Dalam konteks demikian, setiap anggota organisasi akan melakukan setiap
pekerjaan dengan penuh rasa tanggung jawab dan jujur. Dalam diri anggota
organisasi terdapat keyakinan bahwa setiap manusia adalah pemimpin, sehingga
harus bertanggung jawab atas pekerjaan/tugas yang diberikan kepadanya, baik
bertanggung jawab kepada Allah maupun kepada atasan di tempat mereka
bekerja.
Jadi, sebetulnya, untuk pengurangan biaya dalam jangka panjang, dibutuhkan
perubahan perilaku karyawan.
Karyawan merupakan kunci sukses dalam strategi pengurangan biaya.
Keberhasilan manajemen dalam pemberdayaan karyawan amat ditentukan oleh
kesadaran para karyawan terhadap perlunya nilai-nilai kebenaran dan moral
(nilai-nilai etika) sebagai landasan berperilaku dalam kaitan dirinya
sebagai pelaku bisnis.
Dengan demikian, pemberdayaan karyawan yang didasarkan pada etika bisnis
Islami merupakan langkah strategis untuk pengurangan biaya dalam jangka
panjang. Di sinilah, di antaranya, sangat pentingnya penerapan etika dalam
bisnis. Semoga hal itu cepat disadari oleh para pelaku bisnis di negeri ini.
Direktur Lembaga Tafsir Etika Sosial (LTES) Yogyakarta

0 komentar: