Sabtu, 19 Desember 2009

Etika Bisnis di Pasar Tradisional

Etika bisnis di “pasar tradisional”
Mimbar Jumat - Artikel Jumat

MUSTAFA KAMAL ROKAN

Suatu hari saya berkeinginan membeli sepatu di pasar “emperan sepatu” yang berada di pinggir jalan raya. Saat ini, untuk membeli sepatu mudah sekali, sebab penjual sepatu yang terletak jalan utama di Medan “berjejeran” sepatu dengan segala merek dan jenisnya.


Dengan memilah dan memilih sepatu yang beragam itu, akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada merek tertentu. Seperti pembeli lainnya, kalimat pertama yang terlontar dari mulut saya adalah “kalau yang ini berapa? Seketika saja penjual menyebutkan harga sepatu yang saya pilih itu,“ yang ini harganya Rp. 125.000 rupiah”, namun diiringi kalimat “tapi bisa kurang kok pak”.

Tak ayal lagi, sayapun berfikir keras untuk menebak dan menawar dengan harga yang pas sekaligus wajar. Harga yang pas dan wajar adalah harga yang jangan “kena tipu sekali” sehingga rugi, dan juga “tidak kerendahan sekali” sehingga menjadi malu.

Saya pun bingung, sebab tak terbiasa berbelanja di tempat itu. Akhirnya, saya mengajak penjual sepatu itu untuk menyebutkan berapa harga pokok sepatu itu, dan berapa ia mengambil untung. Dengan serta merta, si penjual mengatakan “wah mana bisa, sekarang sulit orang percaya dengan sistem seperti itu”.

Penulis coba meyakinkan si penjual, “bilang saja berapa harga sebenarnya dan mengambil untung berapa, pasti saya bayar, yang penting jujur”. Karena si penjual berpakaian jilbab, saya sampaikan “begitulah Rasulullah berdagang dahulu.” Akhirnya, dengan setengah berbisik (karena takut terdengar pemilik toko dan pembeli lainnya) si penjual pun menyebutkan angka tertentu dan saya pun membayar sepatu itu.

Kondisi “tawar menawar” seperti ini adalah hal yang hampir umum terjadi di pasar terutama pada pasar tradisional. Kondisi seperti ini jelas tak mengenakkan, baik bagi si penjual dan juga si pembeli. Mengapa? Bagi si penjual, ia akan berusaha mengelabui si pembeli dan tak jarang harus membumbui kata pemanis yang penuh kebohongan dalam rangka meyakinkan si pembeli.

Sering kali harga satu jenis barang dinaikkan dengan berkali lipat, sehingga sulit menebak berapa harga aslinya. Sedangkan bagi si pembeli selalu merasa tidak nyaman, jika ia tidak mengetahui harga pasar sebuah barang maka ia akan menawar dan membeli barang dengan sangat mahal, tak jarang hingga tiga atau empat kali lipat dari harga pokok. Intinya harus pandai-pandai menawar yang diselingi dengan saling curiga.

Fenomena ini juga menimbulkan berbagai intrik baik dari si penjual maupun pembeli. Bagi si penjual, bahasa yang digunakan selalu meyakinkan yang kadang dibumbui

dengan kebohongan, misalnya “harga pokokpun belum kembali”, “wah, itu jauh dari harga” dan seterusnya, yang kesemuanya dalam rangka meyakinkan si pembeli. Sedangkan bagi si pembeli, bahasa yang muncul terkadang merayu atau juga memaksa “ngemop” dan tak jarang dengan “pura-pura pergi”, jika si penjual memanggilnya lagi maka berarti harga masih bisa ditawar, jika tidak, berarti memang benar harga barang tersebut demikian, sehingga tidak dapat ditawar lagi.

Demikian seterusnya, sebuah kondisi yang tidak menyenangkan. Nah, bagaimana dengan etika berbisnis Islam?

Etika bisnis dalam Islam
Islam telah mensyariatkan etika yang rapi dan apiks dalam aktivitas bisnis. Etika bisnis akan membuat masing-masing pihak merasa nyaman dan tenang, bukan saling mencurigai. Etika bisnis dalam Islam telah dituangkan dalam hukum bisnis Islam yang biasa disebut dengan muamalah. Aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia mempunyai aturan-aturan tertentu, sebut saja aturan dalam hal jual beli (ba’iy), pinjam meminjam (ariyah), utang mengutang, berinvestasi (mudharabah), kerjasama bisnis (musyarakah), menggunakan jaminan (rahn), pengalihan utang (hiwalah) dan masih banyak jenis transaksi lainnya.

Demikian juga perbuatan yang dilarangan dalam bisnis seperti praktik riba dengan segala macam bentuknya, penipuan, ketidakjelasan (gharar), gambling (maysir) dan juga monopoli (ihtikar). Dalam hal tawar menawar jual beli, betapa indahnya jika dibungkus dengan etika bisnis. Jika seorang pedagang menjelaskan harga pokok sebuah sepatu dengan harga tertentu dan mengambil keuntungan dengan bilangan tertentu dengan mempertimbangkan biaya transportasi, sewa tempat dan seterusnya, maka tidaklah mungkin pembeli merasa keberatan dengan harga yang ditawarkan.

Dengan demikian, tidak terjadi spekulasi antara penjual dengan pembeli dalam tawar menawar, lebih dari itu terjadi hubungan persaudaraan yang indah antara penjual dan pembeli, sebab keduanya saling membutuhkan dan merasa terbantu. Bukan sebaliknya, terjadi kecurigaan dan bahkan tak jarang penipuan dalam rangka mencari keuntungan dan kesempatan.

Betapa indahnya cara Rasulullah Saw. menjajakan barang dagangannya dengan memilah jenis barang berdasarkan kualitas dengan menetapkan harga sesuai dengan kualitas barang. Tidak ada kualitas dan harga barang yang ditutupi Rasulullah Saw. Semuanya berdasarkan harga yang wajar sesuai dengan kualitas barang yang biasa kita sebut dengan product liability.

Rasulullah selalu menunjukkan dan menjelaskan kualitas bahkan cacat sebuah barang yang disesuaikan dengan harga. Maka, tak heran para pembeli merasa senang dan nyaman, tak hanya itu barang dagangannya juga laku keras dan beliau meraup untung yang berlipat dengan etika dagang yang agung.

Aktivitas bisnis harus berorientasi ibadah
Semua jenis transaksi dalam bisnis hendaklah didasari oleh prinsip-prinsip yang menjadi dasar dan patokan. Salah satu prinsip bisnis Islam adalah prinsip ilahiyah (prinsip ketuhanan). Prinsip ini sangat penting dalam mewarnai prilaku pelaku bisnis. Dalam Islam, semua aktivitas termasuk bisnis yang dilakukan bukan hanya pada dimensi duniawi yang berarti berkaitan dengan untung rugi saja.

Namun, lebih dari itu, hubungan bisnis dalam Islam adalah manifestasi dari ibadah kepada Allah Swt. Sudah menjadi adagium umum di masyarakat, jika tidak bisa menipu atau atau bermain “kotor” akan tersingkir dari dunia bisnis. Dengan kata lain, seorang pebisnis tidak bisa “lepas” dari prilaku kotor, tipu muslihat dan semacamnya, jika jujur maka akan terbujur.

Paradigma seperti ini tampaknya sudah menjadi “kesepakatan” masyarakat kita. Memang harus diakui karena bisnis berkaitan dengan uang maka peluang dan godaan untuk melakukan penipuan dan kebohongan sangat terbuka lebar. Karenanya, Rasulullah bersabda “pedagang yang jujur akan bersamaku di surga”.

Dalam hal ini, telah terjadi pemilahan orientasi seorang pedagang dengan membedakan antara kehidupan dunia dengan akhirat. Kehidupan dunia harus dikejar dengan cara-cara keduniaan, sedangkan kehidupan akhirat diperoleh dengan aktivitas ibadah dalam arti sempit (shalat, puasa, zakat dan haji).

Padahal, Islam tidak memandang aktivitas bisnis hanya dalam tataran kehidupan dunia an sich, sebab semua aktivitas dapat bernilai ibadah jika dilandasi dengan aturan-aturan yang telah disyariatkan Allah. Dalam dimensi inilah konsep keseimbangan kehidupan manusia terjadi, yakni menempatkan aktivitas keduniaan dan keakhiratan dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Etika bisnis adalah tuntutan yang harus dilaksanakan oleh pelaku bisnis dalam menegakkan konsep keseimbangan ekonomi. Jika saja pengambilan keuntungan berlipat-lipat adalah sebuah kesepakatan pelaku ekonomi, bukankah hal ini menjadikan supply-demand tidak seimbang, pasar bisa terdistorsi dan seterusnya.

Nah, betapa indahnya jika sistem bisnis yang kita lakukan dibingkai dengan nilai etika yang tinggi.Etika itu akan membuang jauh kerugian dan ketidaknyamanan antara pelaku bisnis dan masyarakat. Lebih dari itu, bisnis yang berdasarkan etika akan menjadikan sistem perekonomian akan berjalan secara seimbang. Wallahualam.

Penulis adalah Dosen hukum Bisnis Fak. Syariah IAIN SU dan STIH Graha Kirana Medan.

0 komentar: