Sumber : http://www19.indowebster.com/d8c8cead623ad43a77346417389656e5.pdf
Bisnis dapat dikatakan sebagai suatu aktivitas yang bertujuan menghasilkan laba, sehingga sah-sah
saja jika para pelaku bisnis berusaha memperoleh keuntungan dari setiap aktivitas bisnis yang
dilakukannya. Hal tersebut menjadi tidak wajar ketika setiap pelaku bisnis menginginkan keuntungan
eksesif dengan menghalalkan segala cara guna memperoleh laba semaksimal mungkin. Praktik bisnis
yang tidak sehat akan memberikan dampak negatif bagi para stakeholders, karena tidak akan
menumbuhkembangkan profesionalisme bisnis dan etos kerja yang tinggi, melainkan justru akan
menggerogoti ketahanan bisnis dari dalam, sehingga menjadikan pilar-pilar ekonomi semakin rapuh.
Jika praktek bisnis yang tidah sehat sudah berlaku umum dalam suatu negara maka akan
memberikan citra negatif pada bangsanya. Sebagai contoh adalah praktik-praktik bisnis bernuansa KKN
(korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang pernah merajalela dan dampaknya terbukti telah menggerogoti
dan memporakporandakan negara kita. Saat ini, dalam hal KKN Indonesia menempati ranking ketiga
terparah di dunia setelah Nigeria dan Kroasia.
Praktik bisnis yang penuh dengan kecurangan telah menjadikan kapitalis-kapitalis jago kampung
yang tidak mempunyai daya saing, hanya mengandalkan berbagai fasilitas, sangat bergantung pada
derajat kedekatannya dengan penguasa, dapat bertindak sebagai tiran terhadap karyawannya,
menghamburkan kekayaan negerinya dan bahkan melarikannya ke manca negara, tidak mempunyai etos
kerja yang tinggi, dan berbagai kelemahan lainnya yang tidak seharusnya dimiliki para pelaku bisnis
profesional. Hal ini memperlemah daya saing Indonesia dalam menghadapi era pasar bebas.
Era pasar bebas memberikan dampak pada persaingan bisnis yang semakin ketat dan semakin
meningkat intensitasnya sebagaimana dirasakan oleh para pelaku bisnis. Hal tersebut acapkali memaksa
pelaku bisnis bersinggungan dengan masalah etika demi mencapai tujuannya yang berupa optimalisasi
laba. Dalam kondisi yang sangat kompetitif seharusnya perlu dipertimbangkan relevansi penerapan
prinsip ekonomi yang menganjurkan organisasi untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan
pengorbanan sekecil-kecilnya, karena hal tersebut terbukti menjadi salah satu pemicu timbulnya praktikpraktik
bisnis yang tidak sehat (unfair business).
Perkembangan yang sangat pesat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya perimbangan antara
kemajuan material dan nonmaterial. Kesadaran perlunya keseimbangan akan semakin berkembang
sehingga keputusan-keputusan bisnis senantiasa harus meliputi berbagai implikasi terhadap lingkungan,
kebudayaan, agama, etika moral, dan sebagainya (Ismangil, 1998).
Dalam pendekatan stakeholders (Atkinson dkk., 1997) dinyatakan bahwa untuk mencapai tujuan
utamanya organisasi harus mempertimbangkan tujuan sekundernya. Tujuan sekunder organisasi
merupakan tujuan utama para stakeholders. Aspek kepaduan (fit) perlu dipertimbangkan dalam upaya
mencapai tujuan organisasi sehingga tercipta kondisi yang memungkinkan berkembangnya pertalian dan
kemitraan usaha secara luas dalam suatu jejaring yang serasi sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu
4
sistem perekonomian yang harmonis secara global. Untuk menciptakan harmoni tersebut diperlukan
etika usaha yang mengarahkan pada persaingan yang sehat (fair competition).
Semakin banyak perusahaan pesaing menyebabkan semakin pendek daur hidup produk dan
semakin kuat pula bargaining power konsumen. Organisasi harus senantiasa dapat meningkatkan daya
saing agar dapat tetap survive atau bahkan mampu mencapai sustainable competitive advantage. Persyaratan
utama yang harus dimiliki untuk meningkatkan daya saing adalah kemampuannya untuk menciptakan
produk berkualitas yang disertai dengan penerapan strategi bisnis yang berorientasi pada pasar (marketbased
view) atau sumberdaya (resource-based view). Hal tersebut akan menjadikan praktik bisnis yang tanpa
disertai perilaku etis tidak akan mampu bertahan dalam jangka panjang dan mencapai keunggulan
kompetitif, bahkan kemungkinan akan menjadi sekadar pecundang karena ditinggalkan pelanggannya.
Untuk itu peranan akuntan manajemen menjadi semakin penting.
Dalam praktiknya akuntan manajemen seringkali menghadapi hambatan dalam menerapkan
perilaku etis. Seorang akuntan manajemen yang ingin menjalankan pekerjaan secara kompeten
adakalanya karena kondisi lingkungan yang memaksa (tidak kondusif) atau karena harus menuruti
perintah atasannya, terpaksa melakukan pelanggaran atas hukum, peraturan, dan standar teknis yang
berlaku. Salah satu contohnya adalah kasus penyimpangan pajak yang melibatkan anak perusahaan PT
BHI, pejabat pajak, dan kantor akuntan publik terkemuka yang merupakan salah satu dari the big five
yang terungkap baru-baru ini dan terancam undang-undang anti suap perusahaan Amerika yang
beroperasi di luar negeri. Contoh lainnya adalah kasus ENRON, HIH, dan perlunya audit ulang PT
Telkom karena ditolaknya laporan keuangan auditan PT Telkom oleh Security Exchange Commission
(SEC).
Natsumi Hayashi : The Flying Girl
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar